Friday, 22 November 2024
HomeKota BogorCatatan 3 Tahun Bima-Usmar Pimpin Kota Bogor

Catatan 3 Tahun Bima-Usmar Pimpin Kota Bogor

Saya tidak membaca bahan apapun terkait kinerja Bima Arya-Usmar Hariman selama 3 tahun memimpin Kota Bogor. Semisal Laporan Kegiatan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Walikota.

Pada zaman Diani Budiarto, saya yang kritisi karena mendapat bahan berupa LKPJ Walikota sehingga dapat memberi pandangan yang komprehensif.

Sekarang tidak lagi. Di bawah kepemimpinan Walikota Bima Arya yang mengklaim menerapkan azas transparansi. Jadi mohon dimaklumi apabila catatan ini saya buat atas dasar penampakan yang kasat mata saja.

Poin pertama terkait kebijakan Sistem Satu Arah (SSA). Seperti diketahui, program mengurai kemacetan ini sudah digulirkan Walikota Bima Arya di seputaran Kebun Raya Bogor. Waktu kali pertama akan dilaksanakan, saya menyampaikan ke media bahwa berikan kesempatan walikota untuk menerapkan SSA, termasuk juga mengevaluasi program tersebut.

Untuk SSA ini, saya patut mengapresiasinya karena dapat membantu kelancaran arus lalu lintas pada posisi sekitar pusat kota. Kendati demikian, dampak kemacetan pada wilayah penghubung kota juga harus diatasi sebagai akibat dari pelaksanaan program SSA tersebut.

Selanjutnya, ini menyoal pembuatan taman dan pelebaran trotoar yang sudah dilakukan. Saya kira ini juga harus diapresiasi secara terukur. Sebab taman dan trotoar telah memberi keindahan untuk hiasan kota ini. Juga dapat meningkatkan kepercayaan publik atas kotanya yang indah.

Karena itu, banyaknya taman-taman ini seharusnya juga dapat mendorong perwujudan Kota Bogor yang civilize. Beradab. Dan demokratis.

Apabila nyatanya warga Bogor tidak menjadi civil society yang maju. Atau bahkan cenderung menjadi fundamentalis. Maka taman-taman yang indah itu akan rusak dengan sendirinya. Tidak memberi makna apapun.

Catatan penting lainnya, yakni menyoal kebijakan Bima Arya selama 3 tahun membiarkan Terminal Baranangsiang. Saya mengesankan walikota bukanlah pimpinan yang strong dan bernyali.

Bagaimana tidak, terminal yang berada pada pusat kota justru tidak terurus. Kumuh. Tidak sehat. Dan pemerintah kota bagaikan tidak hadir disana. Memberi hak warga atas terminal yang indah dan fungsional.

Walikota Bima Arya tidak mampu mengatasi kondisi yang kumuh di terminal itu, meski jaraknya hanya 200 meter dari Lawang Sembilan.

Selain itu, walikota juga abai akan horor yang setiap saat menghantui warga miskin kota yang mendiami lereng-lereng. Mereka terancam tertimbun longsor pada musim hujan. Tindakan minimal untuk membuat aman warga belum ada yang dilakukan, semisal memperkuat turap lerengan.

Pemerintah Kota Bogor di bawah kepemimpinan Bima Arya juga tidak dapat memberi stimulus agar dapat bersama-sama dengan DPRD, membuat kebijakan kota yang ramah HAM. Khususnya untuk penyandang disabilitas, anak dan wanita. Seharusnya ini dapat dibuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).

Kemudian menyangkut “Kasus Angkahong”. Buat saya ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan Bima Arya dalam sisi pengelolaan administrasi pemerintahan yang taat hukum.

Meledaknya kasus Korupsi Angkahong juga menunjukkan lemahnya kepemimpinan dan kemampuan koordinatif walikota atas satuan kerja dan juga atas lembaga sederajat (DPRD).

Catatan mengenai “pleger” harus segera diselesaikan secara hukum oleh walikota. Ini agar status pleger tersebut bisa ditinjau Mahkamah Agung, sehingga kinerja walikota tidak terhambat lagi masalah hukum.

Saya juga melihat problem laten lainnya dari pasangan walikota dan wakilnya yang sekarang ini tampaknya renggang. Dan cenderung jalan sendiri-sendiri.

Kondisi ini juga tidak baik buat warga Bogor. Walikota dan wakilnya harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan beda sikap antar mereka, agar fungsi layanan pemerintahan dapat berjalan baik dan efektif.

Kita juga perlu melihat penggenapan janji kampanye Bima Arya-Usmar Hariman. Menyoal pengangguran, pengentasan kemiskinan, dan lapangan kerja.

Karena tidak ada data akurat saya akan lihat dari aspek sosiologis saja. Bahwa janji kampanye untuk mengatasi pengangguran tampaknya diwujudkan dengan memberi peluang perizinan mall, hotel dan resto.

Hal itu kita ketahui bukanlah bidang usaha yang padat modal dan padat karya. Pada sisi lain juga upaya pengentasan pengangguran dan kemiskinan dengan katup memberi afirmatif kebijakan melalui usaha non formal: UMKM, Pedagang Kaki Lima tidak mendapat fokus perhatian walikota. Terbukti dengan meledaknya Kasus Angkahong.

Walikota Bima Arya juga harus diingatkan kembali untuk berdiri teguh di atas konstitusi. Pengalaman terkait adanya Surat Edaran Larangan Hari Raya Asyuro agar jangan terulang lagi. Walikota juga harus cermat menegaskan sikap politik ke-Indonesian dalam menjalankan tugasnya.

Terkait dengan gerakan-gerakan politik yang dibungkus sebagai gerakan keagamaan, apabila gerakan tersebut sudah menentang prinsip-prinsip dasar negara: Pancasila dan UUD 1945. Maka walikota wajib cermat. Termasuk didalamnya pemberian izin administratif bangunan. Sebagai contoh: kasus Masjid Imam bin Hambal yang ditolak warga. Ini harus menjadi perhatian serius saudaraku walikota.

 

Bogor, 7 April 2017

 

Sugeng Teguh Santoso, SH

(Sekjen Peradi dan Ketua Front Pembela Indonesia)