Berdiri di depan saya seorang wanita berkulit putih. Berambut pendek sebahu. Berpakaian daster. Masih muda. Badannya langsing. Dan ehemmm… Kalau saya ingat saat itu wajah “Si Enci” sangat cantik.
Dipanggil oleh Ali Santosi dengan nama Ci Eng. Ci Eng adalah seorang wanita keturunan Tionghoa.
Sehari sebelumnya saya ngomong sama Ali Santosi (teman sekolah di SD Eka Dharma yang juga keturunan tionghoa) bahwa saya tidak punya sepatu.
Ibu Ali Santosi dari Bangka dan berjualan kelontong sembilan kebutuhan pokok di rumahnya di Mangga Dua Bedeng. Tokonya memang cukup besar.
Kalau dipikir agak aneh. Anak-anaknya mengeyam pendidikan di sekolah kampung yang didirikan oleh bapak saya (sekolah ini bahkan tidak ada izinnya).
Namun yang pasti SD Eka Dharma walau tak berizin, guru-gurunya disiplin dan galak (saya pernah kena jitak kepala sekolah, kakak saya bahkan di tempeleng).
Dan mungkin inilah kelebihan SD Eka Dharma dibanding sekolah dasar lainnya. Anak-anak didiknya pintar-pintar serta jago main bola.
Ali Santosi lalu menawarkan saya jualan Es Mambo untuk dapat uang membeli sepatu. Ci Eng memang juga pengusaha Es Mambo.
Sekitar jam 06:00 pagi, saya sudah lari dari rumah menempuh jarak dua kilometer ke Mangga Dua Bedeng, dengan telanjang kaki. Bercelana pendek. Dan kaos yang di pakai tidur semalam.
Ali Santosi kemudian mengenalkan saya pada Ci Eng. “Ini teman saya, Ci. Joko Tole. Dia mau jualan Es Mambo,” kata Ali kepada Ci Eng sambil melihat dihadapannya anak kecil yang bertelanjang kaki, berbaju lusuh.
“Kamu mau jualan es?,” tanyanya.
“Iya, Ci” jawab saya.
“Ya sudah kamu ambil tuh Termosnya. Bawa sana,” sambil menunjuk suatu lemari es besar.
Saya terpana ada lemari es besar yang belum pernah saya lihat. Boro-boro lemari es, di rumah saya listrik saja belum pakai.
Ci Eng kemudian memasukkan kurang lebih 30 Es Mambo ke dalam Termos yang didalamnya berbahan kaca kedap udara. Seingat saya Ci Eng cuma bilang: “Kalau habis setor 120 perak ya,” katanya.
Dalam tempo tak berapa lama saya sudah di jalan pulang menyusuri dua kilometer kembali ke arah kampung saya di Gang Rukun.
Hari itu, Ali Santosi menemani saya berjualan Es Mambo. Dia sendiri tidak jualan. Karena dia keluarga yang berkecukupan. Tetapi dia adalah teman saya yang baik. Satu hari dihabiskan bersama saya untuk jualan Es Mambo.
Sekolah saya hari itu memang terjadwal Pukul 13:00 siang. Karena itu, saya harus menjual habis Es Mambo ini satu jam sebelum masuk sekolah.
Saya menjual es seharga 5 rupiah. Hari pertama menjual Es Mambo cukup menggembirakan. Saya berhasil menyisakan satu Es Mambo saja, dan sisanya saya bawa lagi ke Ci Eng.
Lalu saya serahkan 120 rupiah ke Ci Eng. Dan saya mendapat 25 rupiah. Uang terbanyak yang pernah saya pegang.
Di luar dugaan, Ci Eng memberi es yang sisa satu untuk saya dan dikeluarkan lagi satu untuk Ali Santosi.
Ya Tuhan… Hari itu saya senang sekali bisa punya uang sendiri. Saya bawa uang itu pulang dan saya kasih tahu ibu kalau saya mulai berjualan Es Mambo. Saya sodorkan uang 25 rupiah. Suatu jumlah yang cukup besar kala itu.
Bagaimana ekspresi ibu? Rupanya ibu saya diam saja. Ibu saya yang galak itu tidak marah. Tidak ngomel. Saya lihat wajah beliau seperti terharu.
Ibu saya lalu mengambil tempat sabun B29. Terbuat dari plastik warna putih yang sudah kosong dan memasukkan uang 25 rupiah itu ke dalam tempat sabun. Di atasnya ditempelkan kertas dan tertulis nama saya “Joko Tole”. Ibu lalu berujar: “Jangan lupa pada sekolah dan belajar,” pesannya.
Saat itu, bapak memang belum pulang dari menarik becak. “Ah biar saja ibu yang memberitahu bapak,” gumam saya.
Saya berjualan Es Mambo kalau tidak salah tiga bulan lamanya. Karena bapak suatu hari membawa kotak kayu bulat yang didalamnya dilapisi plat, garam kasar dua karung, serta bahan-bahan untuk membuat Es Mambo. Bapak saya rupanya mampu membuat Es Mambo bukan dengan lemari es, tapi secara manual.
Dari simpanan saya berjualan Es Mambo, saya bersama ibu akhirnya berangkat ke Pasar Senen. Dan saya pun kembali dibuat takjub. Di sana terdapat toko-toko besar yang memajang banyak sepatu yang bagus-bagus.
Ibu lalu memilihkan untuk saya sepatu bersol karet yang saya lihat sangat bagus. Sepatu itu berbahan kalep yang kuat dan berwarna biru muda putih. Mereknya Famous.
Sepatu itu nyaris empat tahun bertahan. Sebab saya lebih banyak memandanginya daripada dipakai. Untuk pergi ke sekolah tetap saja saya pakai sendal jepit…hehehe.
Ketika saya berjualan Es Mambo, saya ingat waktu itu kelas 4 SD. Mengenang masa-masa itu sekarang, saya teringat lagi oleh Ci Eng, wanita tionghoa cantik pengusaha Es Mambo yang mempercayai anak lusuh membawa termos berisi es. Padahal, saat itu bisa saja termos dan Es Mambo-nya raib dibawa kabur.
Juga saya teringat Ali Santosi teman saya yang baik. Dimana dikau berada sahabat Ali Santosi? Saya mengenang kebaikanmu hingga saat ini.
#Catatan Gang Rukun Kuburan Mangkok Edisi 4
Selasa, 4 April 2017
Dari Ruang Mediasi PN Jakarta Pusat
Sugeng Teguh Santoso, SH
(Sekjen DPN Perhimpunan Advokat Indonesia dan Ketua Yayasan Satu Keadilan)