Kebebasan literasi adalah salah satu prasyarat utama kemajuan peradaban suatu negara. Keluasan wawasan akan pengetahuan adalah implikasi dari kebebasan literasi itu sendiri.
Produk kebebasan literasi adalah individu yang mempunyai ilmu pengetahuan luas. Terbuka. Siap terlibat dalam dialog-dialog. Tidak dogmatik.
Selain itu, juga mendorong munculnya individuasi (manusia individu yang independen, original dalam pikir dan tindakan).
Kebebasan literasi adalah hak asasi manusia, yaitu kebebasan untuk memproduksi wacana dalam tulisan. Membaca serta mendiskusikan juga menguji tesis-tesis apapun.
Karena itu, hal ini menjadi kewajiban lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan kebebasan literasi.
Sebab dalam wilayah kebebasan literasi inilah diberikan keabsahan untuk memasuki lautan pikiran “isme” ideologi.
Dan justru merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia, apabila ada pembatasan kebebasan literasi di sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Adalah Universitas Telkom (U-Tel) Bandung salah satunya yang coba ingkar. Bahkan melanggar dari kewajiban memberi ruang kebebasan literasi di lingkungan akademiknya.
Tiga orang mahasiswa Universitas Telkom: Edo, Faris dan Momon diskorsing tiga sampai enam bulan dari haknya sebagai mahasiswa untuk memperoleh hak akademiknya.
Sehingga mereka terhambat untuk mengikuti perkuliahan, menyelesaikan studinya. Padahal mereka sudah memenuhi kewajiban membayar biaya pendidikan.
U-Tel menghukum tiga mahasiswa tersebut karena ketiga mahasiswa ini memenuhi haknya atas literasi. Mereka malah dituduh mengedarkan dan menyebarkan faham komunisme.
Ini karena mereka menggelar lapak buku-buku di lingkungan kampus, yang mana buku-buku tersebut dinilai membahas faham kiri (komunis).
Buku seperti: Das Kapital Karl Marx, buku-buku catatan korban penahanan oleh Orba pada tahun 1965 dan lain-lain.
Skorsing ini mengingatkan saya pada nasib buruk yang menimpa dua sahabat saya: Bonar Tigor alias Coki Naipospos dan Isti Nugroho yang ditangkap aparat keamanan rezim Orba di Yogya.
Mereka diadili dan di hukum 6 tahun penjara hanya karena mengedarkan dan mendiskusikan buku “Tetralogi Bumi Manusia” karangan Pramudya Ananta Toer.
Pengedaran ini dituduh menyebarkan faham komunisme dan melakukan tindakan subversif serta melanggar TAP MPR No 25 Tahun 1966.
Padahal, buku-buku Pramudya sejatinya telah beredar bebas dan tidak terkena impact hidupnya kembali komunisme (meski digembar-gemborkan munculnya KGB, komunisme gaya baru oleh pihak-pihak yang itu-itu juga).
Perilaku otoriter model rezim Orba muncul kembali di U-Tel Bandung. Pelarangan tersebut adalah tidak berdasar. Sebab buku-buku itu diterbitkan oleh penerbit yang sah dan tidak ada pelarangan peredaran oleh Kejaksaan Agung.
Semoga Menristekdikti bisa turun tangan dan bisa memulihkan hak akademik mahasiswa-mahasiswa tersebut.
Tindakan skorsing ini dimotori oleh Pembantu Rektor 3 yang membidangi kemahasiswaan. Oleh karenanya, saya kira perlu juga dilakukan “tracking” latar belakang Purek 3 ini. Mungkin saja dia berkecenderungan sektarian.
Tindakan menyita buku-buku itu dan skorsing adalah tindakan melanggar konstitusi: UU HAM dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Saat ini saya bersama dengan sejawat advokat Asri Vidya, Barra Pravda mengadvokasi tiga mahasiswa U-Tel Bandung agar skorsing dicabut. Dikembalikan hak akademiknya. Mencabut larangan literasi dan mendesak Rektor U-Tel untuk mengembangkan suasana akadademik yang terbuka dengan kebebasan literasi.
Pertemuan dengan para pemuda yang idealis, merupakan spirit bagi saya untuk selalu berpihak pada rakyat. Dan pada para pemuda ini realitas nasib rakyat juga bisa diharapkan membaik.
31 Maret 2017
Salam Kebebasan Literasi
Sugeng Teguh Santoso, SH
(Sekjen DPN Perhimpunan Advokat Indonesia dan Ketua Umum Front Pembela Indonesia)