Buah impor: Peer Shiangli, Apel Amerika. Itu sudah saya nikmati sekitar tahun 1977. Buah yang mahal tentunya saat itu. Khususnya buat kami anak Gang Rukun.
Di perkampungan kumuh di atas kuburan ini, mau menikmati buah-buah tersebut tidak perlu pakai uang. Cukup mempersiapkan diri. Jalan bolak-balik sejauh kurang lebih 15-16 kilometer. Keluar-masuk kampung. Dan menghindari jalan raya (khawatir tertangkap petugas tramtib), menuju Pasar Glodok, Pancoran, Jakarta Barat.
Di Pasar Glodok Pancoran ini berjejer pedagang buah lokal maupun impor. Untuk ritual mendapat buah impor yang mahal itu. Kami anak Gang Rukun harus mempersiapkan diri sebelumnya. Harus janjian dengan teman-teman. Sepakat berangkat di bawah jam 6 pagi.
Jarak tempuh bolak-balik 16 kilometer akan kami tempuh kurang lebih 4 jam. Kemudian kompetisi rebutan buah di keranjang sampah bisa 1 jam lamanya. Jadi kami harus kembali sekitar jam 12 kurang. Karena pukul 13.00 kami harus sekolah siang.
Dari Gang Rukun kami akan jalan kaki ke arah Pasar Glodok, Pancoran. Sampai disana kami memeriksa keranjang-keranjang buah. Tempat buah-buah afkir atau rusak di buang pedagang. Biasanya buah-buah tersebut belum rusak seluruhnya. Bahkan masih bisa dinikmati 80 persen.
Pembeli yang terdiri dari orang-orang berduit (orang Tionghoa kebanyakan) memang tidak mau membeli buah yang sudah rusak. Karenanya, pedagang akan memisahkan di keranjang sampah.
Nah, di keranjang sampah inilah kami anak kampung dari berbagai kawasan kumuh di Jakarta akan “berkompetisi”. Demi mendapat buah-buah yang mahal itu.
Dalam rebutan tersebut, biasanya anak-anak antarkampung tidak masalah. Sebab Abang penjual buah adalah orang-orang yang baik. Memisahkan kami kalau ribut dan dibagi-bagilah buah itu.
Setelah dapat buah yang dimasukkan dalam Bongsang (keranjang dari bambu dengan alas jerami), dengan riang gembiranya saya dan teman pulang sambil berlari-berlari kecil. Wah senang sekali, bro!
Sesampainya di Gang Rukun, di atas kuburan sudah menunggu teman-teman lain. Dan kami pun berpesta buah. Dahsyat! Anak kampung makan buah impor.
Suatu kali dalam perjalanan pulang. Waktu itu: Saya, Ujang Topong dan Selamet, sudah mendapat tiga bongsang. Ada Apel, Mangga, Peer, Belimbing besar, Jeruk dan lain-lain.
Kami melewati kampung daerah Thanki (Lapangan UMS, Petak Singkian). Ketika sedang bercanda-canda. Jalan kami dihadang oleh enam anak yang seusia saya. Dua orang di antara mereka lebih bongsor. Mereka memaksa tiga bongsang itu semuanya diserahkan.
Kami kaget. Saya dan Selamet saling bertatap mata. Selamet yang lebih besar dari saya menyarankan mereka diberi satu keranjang. Namun mereka menolak. Memaksa semuanya diserahkan.
Saya mulai takut. Selamet lalu menawarkan dua keranjang. Juga ditolak. Semua mereka tuntut. Saya makin takut dan tahu mereka akan merebutnya dengan kekerasan.
Dengan isyarat mata saya tahu Selamet mengajak kabur. Seketika kami lari tunggang-langgang. Tetapi kami akhirnya terkepung. Karena Ujang Topong yang paling kecil dari kami tertangkap. Ujang dipukuli.
Ya Tuhan, kami harus melawan. Tiga keranjang buah mereka rebut. Satu keranjang berceceran. Dua keranjang kami taruh di tanah. Dua melawan satu. Saya lihat Selamet sudah menghadapi dua orang. Dan saling pukul.
Saya juga kena beberapa pukulan. Tapi saya bisa pukul juga satu-dua. Yang saya tak tahan saat melihat Ujang Topong. Dia menangis dipukuli. Jatuh terguling-guling dan ditendang-tendang seperti bola.
Hanya karena insting membela teman, tanpa pikir lagi saya lari meloncat menendang seorang anak yang aniaya Ujang. Anak tersebut jatuh. Tapi saya pun jatuh. Tak ayal empat anak menendangi saya sampai jatuh ke dalam selokan got.
Mereka menginjak dan menendang punggung saya. Tidak tahu berapa lama saya diinjak-injak. Karena kemudian mereka diusir oleh Tukang Es Cincau yang kebetulan lewat. Tukang es tersebut mengibas-ngibaskan pikulannya sehingga mereka bubar. Saya pun selamat berkat Tukang Es Cincau.
Dua keranjang buah berhasil mereka gondol. Satu keranjang tersisa lalu kami kumpulkan. Kami semua babak belur. Selamet wajahnya kena pukul. Ujang Topong masih menangis menahan sakit pada tubuhnya.
Saya tidak mau menangis. Tubuh saya hitam belepotan lumpur bau. Dengkul luka lebar terkena benturan jalan. Wajah saya bengkak luka. Siku tangan luka. Keduanya karena menahan tubuh yang diinjak-injak. Badan saya sakit semua. Saya periksa ternyata tidak ada yang patah. Tapi saya dendam pada mereka. Sebab ini bukan perkelahian. Tapi ini adalah perampasan dengan kekerasan.
Pertarungan mempertahankan hak milik dan mempertahankan sikap tidak mau tunduk menyerah pada paksaan. Pada sikap arogansi. Kami memang kalah. Saya dan teman-teman kehilangan dua keranjang buah. Tapi kami tidak kehilangan harga diri.
Sampai di Gang Rukun, walau sudah saya bersihkan diri. Tanda babak belur tidak bisa disembunyikan. Saya tidak bisa berbohong lagi sama ibu.
Ibu tahu saya habis berkelahi. Saya saat itu kelas 5 berusia 11 tahun. Saya bicara apa adanya. Diam siap menerima pukulan seperti biasa. Karena ibu sudah memegang rotan pembersih kasur. Saya kelu. Tapi tak ada pukulan yang mendarat. Ibu terlihat sedih.
Saya kemudian disuruh mandi dan pergi sekolah seperti biasa. Sementara Bapak baru tahu malam setelah diberitahu Ibu. Bapak hanya melihat saya lekat-lekat. Tertawa kecil dan bicara keras. “Jangan cengeng, Jaga diri!,” bentaknya.
Tak ada kata-kata lain yang diomong lagi. Dia memegang kepala saya dan saya disuruh belajar. Kebiasaan rutin belajar malam bertahun-tahun. Saya tak tahu apa yang ada dalam pikiran bapak ibu saya.
Perasaan dendam tumbuh. Tapi saya tidak tahu dan tidak kenal mereka yang merampas buah-buahan kami. Dalam suatu kesempatan di kuburan, saya dapatkan jeruji sepeda. Saya potong sepanjang 15 centimeter. Saya runjingkan. Dipasang gagang kayu. Dibungkus kertas.
Dua minggu kemudian, saya ajak lagi Selamet. Sementara Ujang Topong kapok tidak mau. Akhirnya teman saya Akir yang ikut. Mereka tahu saya membawa senjata itu. Kami sengaja melewati Jalan Thanki. Pergi-pulang saya tidak ketemu lagi anak-anak itu. Dan kami tidak pernah bertemu lagi. Tuhan rupanya “menyelamatkan” saya.
#Catatan Gang Rukun (Kuburan Mangkok) Edisi 5
Salam Damai, Hindari Dendam…
Sugeng Teguh Santoso, SH
(Sekjen Peradi dan Ketua Front Pembela Indonesia)