Friday, 11 October 2024
HomeKabupaten BogorTolak Gereja Parung Panjang, Ini yang Dilakukan Warga

Tolak Gereja Parung Panjang, Ini yang Dilakukan Warga

BOGOR DAILY Kasus penolakan tiga gereja di Parungpanjang kembali berlangsung. Setelah sempat diredam, kelompok yang mengatasnamakan warga muslim Parungpanjang kembali memprotes keberadaan tiga gereja di Perumahan Griya Parungpanjang, Kabupaten Bogor, kemarin.

Kali ini, kerumunan massa melakukan aksi gelar tikar dan kardus sebagai alas duduk sambil bersalawat. Massa memblokir Jalan Elok Raya Blok E2, RT 04/04, Perumahan Griya Parungpanjang, dengan aksi salawat di sepanjang jalan menuju bangunan gereja.

Dengan pakaian serba putih, peserta yang berjumlah sekitar 250 orang beraksi kembali menuntut agar para jemaat Gereja Methodist Indonesia, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) serta sebuah gereja Katolik meninggalkan rumah ibadah yang mereka tempati. Hal itu karena dianggap tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah daerah setempat.

Pendeta Abdi Saragih dari Gereja Methodist Indonesia mengakui bahwa gereja yang dipimpinnya tidak memiliki IMB. “Namun, bukan berarti kami tidak pernah mengurusnya. Sejak 1999, setiap kami urus selalu ditolak,” kata Abdi.

Hal senada diucapkan anggota Majelis Gereja HKBP Parungpanjang Walmen Nainggolan. Menurutnya, ada sejumlah unsur dari rangkaian persyaratan yang sulit dipenuhi, semisal rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Sebagaimana disyaratkan Instruksi Gubernur Jawa Barat No 28 Tahun 1990, ada enam syarat untuk penerbitan IMB tempat ibadah. Yakni pendapat tertulis kepala kantor departemen agama; sesuai tata guna dan tata ruang; persetujuan 40 kepala keluarga domisili pengguna; izin dari masyarakat; serta pendapat tertulis MUI, DGI, Parisada, Hindu Dharma, MAWI, Walubi, ulama/rohaniawan.

Syarat-syarat ini mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. “Sulit bagi kami untuk mendapatkan IMB kalau tidak mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah setempat,” ujar Walmen.

Mengenai persetujuan warga setempat, Abdi dan Walmen mengatakan, mereka memberi izin secara lisan. Namun, masalahnya mereka tidak mau memberi tanda tangan secara resmi.

Sementara itu, Sekretaris Camat Parungpanjang Icang Aliudin membenarkan adanya aksi tersebut. Menurutnya, massa mempertanyakan soal batas penetapan status quo yang diberikan pemerintah daerah terhadap tiga gereja di Parungpanjang. “Karena selama ini tidak ada kejelasan, itu sampai kapan. Makanya mereka melakukan aksi, apalagi ini juga sudah mau memasuki bulan puasa,” ujar Icang.

Ia pun berharap Bupati Bogor Nurhayanti segera menindaklanjuti adanya aksi warga ini. Sebab jika dibiarkan berlarut, ia khawatir akan terjadi konflik berkepanjangan. “Ini kan sudah kewenangan pemerintah daerah, jadi kami harap secepatnya bisa diselesaikan,” tandasnya.

Sekadar diketahui, keputusan status quo ditetapkan Bupati Bogor pada 7 Maret 2017 dalam rapat bersama kepolisian, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bogor, Satpol PP, MUI Kecamatan Parungpanjang dan KUA Kecamatan Parungpanjang. Tak ada satu pun perwakilan gereja dalam rapat tersebut.

Berdasarkan data Komnas HAM, terjadi 19 kasus pembatasan/pelarangan ibadah dan kegiatan keagamaan sepanjang 2016. Belasan kasus itu mencakup kasus penyegelan tujuh gereja di Cianjur.