Membenahi dokumen-dokumen lama, tak sengaja menemukan bundel berkas kasus 27 Juli 1996. Kasus yang disebut “Kudatuli” (Kudeta 27 Juli). Peristiwa perebutan Kantor DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri yang terletak di Jalan Diponegoro 58, Jakarta.
Dokumen-dokumen yang sudah berusia 21 tahun tersebut ada pada rak buku. Saya jadi terkenang. Saat itu sebagai advokat muda, saya berani membela 21 terdakwa dari 124 anggota dan simpatisan PDI pro Megawati Soekarno Putri.
Mereka ditangkap aparat di dalam rumah mereka sendiri (kantor DPP PDI). Salah seorang yang saya ingat adalah seorang ibu bernama Sandra dan yang lain adalah pria.
Mengenang waktu itu, dalam suatu sesi sidang, saya memeriksa seorang kapten polisi pasukan anti huru-hara sebagai saksi. Tapi saya cecar seolah sebagai terdakwa. Bagaimana tidak. Logikanya sederhana saja.
Kantor DPP PDI adalah milik DPP PDI dan berhak dikuasai. Ditinggali. Dijadikan tempat kegiatan pengurus, anggota dan simpatisan PDI.
Lalu mengapa polisi menyerbu dan menangkap para anggota dan simpatisan PDI di kantor yang adalah milik mereka sendiri? Sementara orang-orang di luar yang menyerbu dan menggunakan cara-cara kekerasan: lempar batu. Memukul dengan rotan. Dan bahkan ada yang membawa sangkur, tapi tidak dihalau dan ditangkap oleh aparat. Kapten polisi tersebut lalu berteriak marah-marah pada saya. Dia menegaskan: Saya saksi, bukan terdakwa!
Tapi dengan tetap tenang saya tanya mengapa saudara menangkap orang yang tinggal di dalam kantornya dengan damai? Mengapa saudara saksi sebagai polisi melihat ada orang yang menggunakan kekerasan dan alat-alat pemukul memasuki halaman DPP PDI tidak dihalau? Justru saudara bersama mereka ikut menyerbu masuk? Dan banyak lagi pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan logis oleh saksi.
Saksi kapten polisi malah bertambah marah. Ketua majelis hakim yang tampaknya bersimpati pada para korban (terdakwa) mendiamkan saja. Bahkan saya bisa bertanya dengan leluasa. Saya ingat ketua majelis hakimnya adalah Bapak Sianipar.
Selesai sidang, terjadi insiden pemukulan terhadap saya di dekat kawasan Gajah Mada Plaza. Seorang berpakaian preman sambil berjalan disamping menyikut wajah saya dan lari.
Saat itu saya sedang berjalan sendiri. Saya sengaja tidak mengejarnya. Sebab pukulan tersebut tidak terlalu keras. Dan saya juga mempertimbangkan soal keamanan.
Selain dokumen-dokumen berkas perkara, terdapat juga dokumen penjelasan resmi tentang “Penyerbuan Berdarah Markas DPP PDI Sabtu 27 Juli 1996”.
Dokumen ini ditandatangani oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI dan Alexander Litaay sebagai Sekretaris Jenderal DPP PDI.
Dokumen yang berisi penjelasan dan kronologis serangan terhadap kantor DPP PDI oleh segerombolan orang berbadan tegap. Berambut cepak. Dan memakai kaos merah bertuliskan “Pro Kongres Medan”. Dokumen ini adalah dokumen sebagai sikap resmi DPP PDI saat itu. Dan sampai saat ini saya masih memilikinya.
Saya mengingat kenangan tersebut karena selama 21 tahun aktif di PDI Perjuangan, baru saat ini saya tertarik dengan dunia politik praktis. Kini saya ikut pencalonan Walikota Bogor 2018 yang dijaring oleh Bapilu DPC PDI Perjuangan Kota Bogor.
Dalam test wawancara, oleh DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, saya ditempatkan sebagai peserta fit and proper test dari unsur eksternal (bukan kader).
Juga berdasarkan informasi lain, data dalam formulir isian dan kelengkapan Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI Perjuangan yang saya miliki sejak 2004 tidak terdapat dalam dokumen.
Padahal, KTA PDI Perjuangan saya sertakan saat mengembalikan formulir di DPC PDI Perjuangan Kota Bogor. Fenomena KTA tidak ada dan dianggap sebagai unsur eksternal bukan kader, mengajarkan pada saya bahwa dunia politik praktis adalah wilayah yang memiliki banyak tikungan tidak terduga. Berbeda dengan profesi hukum yang bisa diprediksi dan terukur.
Oleh karena itu, saya harus belajar banyak dalam politik praktis. Tapi harus tetap dengan spirit pelayanan rakyat yang tidak boleh bergeser.
Kalau boleh sombong (hehehe), saya juga dapat penghargaan DPP PDI yang di tandatangani Megawati Soekarnoputri atas kontribusi pembelaan dalam kasus 27 Juli 1996, sebagai Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).
Mengenang 21 tahun lalu, membela kasus 27 Juli 1996, saya jadi teringat kawan-kawan seperjuangan. Saat ini mereka sudah menduduki posisi politik cukup hebat: Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI Trimedya Panjaitan dan Dwi Ria Latifa Anggota DPR RI.
Merdeka,
Sugeng Teguh Santoso, SH
(Calon Walikota Bogor 2018/Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia)