BOGOR DAILY– Delapan tahun mandul, Wali Kota Bogor, Bima Arya, sedang getol merampungkan revisi Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok. Sejumlah poin masuk dalam revisi tersebut. Di antaranya melarang penggunaan rokok elektrik atau vape di ruang publik. Hal lain, melarang rokok di ruang privat atau rumah.
“Kita melihat memang masalah kebiasaan merokok ini harus dideteksi sedini mungkin, sejak dari rumah tangga. Memang masih menjadi perdebatan, tapi kita bisa maksimalkan larangannya mungkin di sekitar lingkungan RT. Karena rumah pribadi memang ruang yang terlalu privat. Tapi kita akan rumuskan lagi, rumah tangga yang seperti apa nantinya yang akan dilarang,” jelas Bima.
Mendengar rencana tersebut, Hermansyah, warga Kota Bogor, mengungkapkan, meski perokok tapi dia sangat menghindari merokok di dalam rumah. Atas rencana Pemkot pun, Herman mengaku tak setuju.
“Saya secara pribadi kalau memang diatur larangan soal rokok di ranah pribadi seperti rumah, ada baiknya harus dikaji ulang. Kalau larangan merokok di ruang terbuka dan ruang pribadi, Pemkot Bogor sebaiknya merevisi perda KTR yang melarang rokok masuk kota Bogor, tidak hanya iklannya saja,” ujar Herman.
Menurut Herman, Perda Kawasan Tanpa Rokok sudah bagus. Hanya saja, Pemkot tak konsisten dalam menjalankannya. Itu bisa dilihat dari banyaknya pelanggaran yang terjadi di ruang bebas asap rokok.
Senada dengan Hermansyah, Dadang Danubrata juga tak setuju melarang rokok di lingkungan rumah. Meski ia bukan perokok, tapi baginya rumah adalah ruang pribadi yang tak sembarang pihak bisa mengusiknya, termasuk Pemkot.
“Pemda sendiri siap tidak dengan perangkatnya, misalnya setiap ada yang merokok di halamannya, apa yang bisa dilakukan? Jangan sampai perda itu dibuat dan direvisi, namun tidak bergigi juga sehingga tidak maksimal,” ujar Dadang.
Tak hanya ditolak warga, Komunitas Kretek juga mencerca rencana Wali Kota Bima Arya itu. Ketuanya Aditia Purnomo, mengatakan pemda tak sepatutnya masuk dalam ranah pribadi warganya.
Menurut Aditia, pemkot semestinya memastikan larangan rokok di ruang-ruang publik dijalankan.
“Ini sama seperti orang ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Dari pada ngurusin seperti itu, ada baiknya pemerintah menjalankan penegakan hukum dari perda yang sudah ada. Karena pelaksanaan perda ini juga kan banyak ngaconya, terutama di urusan mengakomodasi para perokok. Karena di undang-undang 36 tahun 2009 itu ada pasal penjelasan yang berbicara dua tempat seperti di tempat kerja dan tempat umum lainnya, harus disediakan ruang merokok. Tapi kenyataannya tidak ada,” kata Aditia.
Kritik itu, diakui Bima Arya karena penegakan hukum terlalu lembek ketika diterapkan di lapangan.
“Jadi bukan produknya yang kurang, tapi law enforcement atau penegakan hukumnya yang harus kita perbaiki. Terutama keteladanan para aparat penegaknya,” ujar Bima.
Bima berdalih lembeknya penegakan hukum itu karena kurangnya petugas di lapangan dan minimnya anggaran.
“Dalam hal ini minimnya petugas menjadi kendala, anggaran operasi tipiring (tindak pidana ringan) kan tidak kecil. Sebenarnya yang lebih kita butuhkan itu partisipasi warga untuk melaporkan ini. Menurut saya yang harus kita anggarkan lebih kuat itu disosialisasi kepada publik, supaya mekanisme pelaporan dari warga bisa maksimal. Jadi tidak melulu harus ada sidak,” kata Bima.
Di sisi lain, Bima cukup bangga sebab Perda KTR sukses menggusur reklame iklan rokok di ruang terbuka publik, walaupun alat peraga iklan rokok masih mudah dijumpai pada lingkungan sekolah, pemerintahan daerah dan mal.