Thursday, 25 April 2024
HomeKabupaten BogorPenerimaan Siswa Baru Bikin Orang Tua Jengkel, Ini Alasannya

Penerimaan Siswa Baru Bikin Orang Tua Jengkel, Ini Alasannya

BOGOR DAILY- Aturan baru lewat sistem wilayah atau zonasi menuai protes. Merasa dirugikan atas kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, orang tua siswa di Bogor sampai membuat surat terbuka kepada sang menteri. Sebab dalam penerapannya, sekolah tak lagi melihat nilai semata, melainkan memprioritaskan peserta didik yang lolos karena faktor kedekatan antara jarak sekolah

Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 menimbulkan polemik di masyarakat. Dalam Pasal 11 (1), sekolah-sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik yang domisilinya dekat dari sekolah. Tak tanggung-tanggung, kuota yang diberikan pun paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima.

Domisili calon peserta didik tersebut berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Radius zona terdekat ditetapkan pemerintah daerah sesuai kondisi di daerah tersebut. Kemudian sebesar sepuluh persen dari total jumlah peserta didik dibagi menjadi dua kriteria, yaitu lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen untuk peserta didik yang mengalami perpindahan domisili.

Keluarnya aturan ini langsung jadi polemik. Banyak orang tua yang protes karena merasa dirugikan. Sebab meski anaknya memiliki nilai tinggi, hal itu tidak menjamin bisa masuk sekolah negeri. Sebab, harus dikalahkan dengan siswa yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah meski nilainya pas-pasan. Orang tua murid di Gunungputri, Bunyamin, mengeluhkan soal aturan menteri yang baru.

Sebab saat mendaftar di SMP Negeri 1 Gunungputri yang terletak di Desa Wanaherang pada Senin (3/7) lalu, anaknya tak lolos meski memiliki nilai di atas rata-rata. Menurut Bunyamin, anaknya harus kalah saing dengan siswa lain yang nilainya jauh di bawah rata-rata anaknya namun diuntungkan karena tempat tinggalnya dekat dengan sekolah yang dituju. Ini pula yang membuat banyak orang tua jengkel.

“Saya mewakili orang tua lainnya memprotes kebijakan ini. Anak saya jadi menyesal berusaha dapat nilai bagus. Percuma belajar kalau nilai ternyata tidak berguna untuk daftar sekolah. Cukup tinggal dan beralamat nempel sekolah,” sindir Bunyamin. Protes ini juga dirasakan orang tua lainnya karena yang dianggap merugikan. Bahkan, hampir di setiap daerah orang tua juga mengeluhkan hal sama. Seperti yang terjadi di Kota Bandung, Situbondo dan lainnya.

Lili Bukhori (40) yang hendak mendaftarkan anak ke SMP Negeri 1 Margahayu, yang bermastautin di Kampung Pameuntasan, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, menyadari betul jarak antara rumahnya dan sekolah yang dituju cukup jauh. Namun, dia tetap bertekad mendaftarkan sang anak ke SMP Negeri 1 Margahayu, salah satu sekolah yang dicap favorit di Kabupaten Bandung. Sehingga, ia pun mempertanyakan soal sejauh mana transparansi sekolah dalam proses ini.

Sementara Bunyamin berpendapat bahwa justru membuat anak-anak jadi malas berkompetensi. Sebab, merasa nilai yang didapat pun tidak memberi pengaruh untuk mendapatkan sekolah negeri berkualitas. “Tujuannya memang baik, tetapi apakah Pak Menteri sudah memikirkan fasilitas yang ada dan dikaji betul,” sindirnya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor TB Lutfie Syam mengatakan, awalnya kebijakan ini dibuat agar semua sekolah negeri ataupun swasta memiliki kualitas yang sama. “Untuk Kabupaten Bogor porsinya tidak 90:10 persen, tetapi 60:40 persen. Sebab, melihat kondisi geografis Kabupaten Bogor agar kebijakan ini efektif, tepat sasaran dan bermanfaat,” katanya.

Soal keluhan orang tua murid di Gunung Putri itu, Lutfie menilai sah-sah saja orang tua murid berpendapat demikian. Menurutnya, dulu sebelum permen ini diterbitkan, banyak siswa yang dekat dengan sekolah justru tidak bisa diterima di sekolah tersebut.

“Artinya, tidak ada lagi alasan siswa yang berada dekat dengan sekolah, yang tidak dapat diterima di sekolah dekat rumah. Tentu kebijakan ini banyak juga yang tidak setuju, dengan alasan buat apa punya nilai tinggi, tetapi kalah dengan mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah tertentu, lebih baik bikin surat pindah dan sebagainya. Itulah resiko dari setiap kebijakan yang dibuat pemerintah,” ujarnya.

Lutfie menambahkan, permen ini harusnya jadi pemacu semangat untuk sekolah-sekolah swasta, agar memperbaiki kualitas sekolahnya, sehingga menjadi pilihan utama para siswa. “Jadi nantinya tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan tidak favorit, semua sekolah akan punya kualitas sama. Kami di daerah sih patuh-patuh saja karena sudah aturan dari atas, tinggal kita mengaplikasikannya sesuai kebutuhan daerah tertentu, asal tujuan besarnya tetap tercapai,” bebernya. (Metropolitan)