Friday, 22 November 2024
HomeKota BogorAmanah Kesejahteraan dari Pejuang Kemerdekaan

Amanah Kesejahteraan dari Pejuang Kemerdekaan

Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)

Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrean paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantre di tempat itu.

Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrean paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kantor desa. Si petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.

“Maaf pak, syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT dan RW. Baru bapak bisa kembali lagi ke sini,” kata si petugas sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.

Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum. Sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.

Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan. Sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya. Tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia.

Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di sebuah rumah sangat sederhana. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.

Saat diperjalanan pulang, tiba-tiba angin berhembus semakin kencang. Suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan kios karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.

Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate. Pantas saja perutnya merasa semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam. Sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya.

Lelaki tua itu pun tersenyum. Ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.

Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang pedagang kaset VCD yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah.

Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme. Rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya.

Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme. Rakyat negerinya atau para pejabat itu?

Pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya. Namun ia sadar ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda. Lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.

Sesampainya di rumah sakit, kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW.

Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.

“Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.

Si kakek pun meneteskan air matanya. Tubuhnya bergetar hebat. Map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.

Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Achmad bin Dasuki, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Aisyah binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang.

Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada, namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.

Demikian penggalan cerita yang saya baca dalam sebuah tulisan. Betapa mirisnya negeri ini. Bila kita semua tidak menghargai jasa para pejuang kemerdekaan beserta keluarganya.

Padahal bagi para pejuang, tidak ada yang lebih membanggakan mereka baik yang gugur di medan perang maupun yang tidak, selain memenuhi cita-cita mensejahterakan rakyat Indonesia dan menggapai kejayaan Bangsa Indonesia. Walaupun mereka kini tidak melihat, tetapi menyejahterakan rakyat adalah amanah para pejuang yang wajib dijalankan oleh setiap pemimpin.

Jejak-jejak perang kemerdekaan di Bogor, masih terlihat secara kasat mata. Istana Bogor, Balaikota Bogor di Jalan Juanda, Gedung Badan Pertanahan Nasional Bogor di Jalan Harupat, Kantor Pos di Jalan Juanda, Markas Kodim 0606 di Jalan Sudirman, Markas Korem 061 Suryakencana di Jalan Merdeka, Gedung Penelitian Bio Teknologi Pertanian di Jalan Taman Kencana, Hotel Salak di Jalan Juanda, Istana Bogor dan lain sebagainya adalah tinggalan sejarah pendudukan penjajah di Bogor.

Raden Saleh, Kapten Muslihat, Mas Ace Salmun Raksadikaria, KH Abdullah bin Nuh, KH Sholeh Iskandar, Mayor Oking, Nyi Raja Permas (ibu dari pahlawan nasional Raden Dewi Sartika), adalah beberapa pahlawan Bogor yang namanya sekarang dijadikan nama jalan. Bahkan kakek saya sendiri HM Syaripudin juga merupakan pejuang kemerdekaan yang kini namanya abadikan dalam nama jalan di Bogor. Ini bukti bahwa perang juga berkecamuk hebat di Bogor.

Bagi para pahlawan Bogor, baik yang namanya dijadikan nama jalan, maupun semua pejuang Bogor yang gugur dan sekarang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dreded, gedung-gedung itu mungkin tidak lebih sebagai simbol kepongahan penjajah. Gedung-gedung itu memang harus dimanfaatkan karena bernilai ekonomis. Tetapi, cita-cita dan amanah yang tersirat dari kerelaan pejuang mengorbankan nyawa di medan perang, tentulah jauh lebih tinggi ketimbang gedung-gedung hebat itu.

“Kemerdekaan adalah jembatan emas yang di seberangnya kita bisa menyempurnakan kita punya masyarakat,” kata Bung Karno saat berpidato di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indoesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.

Di wilayah admisnitratif Kabupaten Bogor, Tuhan menganugerahkan kekayaan yang melimpah. Tanahnya luas  mencapai 2.664 km persegi, sebuah daerah yang luasnya lebih tiga kali  luas negara Singapura yang hanya 719,1 km persegi, atau sekitar empat kali lebih luas dari luas DKI Jakarta yang hanya 661,5 km persegi.

Jumlah pendudukan Kabupaten Bogor sekitar  5,7 juta tahun 2016, terpaut sedikit dengan jumlah penduduk Singapura sebesar 5,5 juta tahun 2015, dan jauh lebih sedikit dibanding penduduk Jakarta yang mencapai  12,7 juta  tahun 2015.

Jumlah penduduk di lahan yang sangat luas seperti Kabupaten Bogor, adalah berkah. Di atas lahan yang begitu luas, teramat banyak yang bisa dilakukan untuk mensejahterakan warga Kabupaten Bogor.

Belum lagi potensi pengembangunan yang bisa dikembangkan di atas lahan yang luas dan subur. Saat ini sudah berkembang sejumlah komoditas unggulan untuk usaha sektor perikanan, antara lain: komoditi ikan hias dan benih ikan lele telah ditetapkan sebagai komoditi unggulan kawasan minapolitan Kabupaten Bogor. Sedangkan di sektor peternakan sudah berkembang komoditi yang menjadi unggulan seperti sapi perah dengan turunannya berupa susu Yoghurt dan bahan makanan lainnya.

Untuk usaha sektor tanaman pangan dan hortikultura, komoditi yang sudah menjadi unggulan adalah Talas Bogor, Nanas Gati, Pisang Rajabulu dan Manggis Raya. Keempat komoditi tersebut sudah ditetapkan sebagai komoditi unggulan khas Kabupaten Bogor.
Sektor industri yang sudah berkembang adalah industri air kemasan dan olahan karet, produk alas kaki, anyaman bambu dan kerajinan bunga kering.

Sektor pertambangan juga sudah berkembang yakni usaha penggalian dan pertambangan dengan pangsa pasar tersendiri. Namun masih terdapat sejumlah komoditi tambang yang menjadi unggulan antara lain: emas, perak, andesit, tanah liat dan batu kapur. Kemudian, untuk sektor pariwisata bahkan terdapat objek wisata eksotis di ratusan titik di Kabupaten Bogor.

Potensi yang besar ini harus diakui belum terkelola secara baik. Apabila sudah terkelola secara baik maka jumlah 9,6 persen dari 5,7 juta rakyat Kabupaten Bogor persen yang masih berstatus miskin, dalam waktu singkat bisa langsung terentaskan sekaligus meningkatkan kesejateraan rakyat.

Yakni, bagaimana pemimpin menggerakan seluruh stakeholder Kabupaten Bogor untuk masing-masing mengambil bagian mengelola potensi pembangunan yang besar itu. Sebab tidak ada pemimpin yang bisa melakukan semuanya sendiri. Melainkan harus merajut kebersamaan atau gotong-royong  dengan seluruh stakeholder.

Investor regional, nasional dan internasional dipastikan akan terus masuk ke Kabupaten Bogor.  Pemerintah Kabupaten Bogor dan juga rakyat Bogor, tidak mungkin melarang investor masuk karena ada perundang-undangan yang mengaturnya. Sebaliknya harus menggelar karpet merah. Ini menjadi tantangan yang tidak kalah pentingnya. Bagaimana agar investor nasional, regional dan asing yang akan masuk ke Bogor itu mensejahterakan rakyat, bukannya menjadi bencana bagi warga Kabupaten Bogor sebagaimana terjadi pada masyarakat Melayu di Singapura, atau yang dialami sebagian masyarakat Betawi di Jakarta.

Momen peringatan Hari Kemerdekaan ke-72 Republik Indonesia sekarang ini kita diingatkan oleh semangat para pejuang kemerdekaan yang pantang menyerah. Semangat pantang menyerah ini merupakan modal yang sangat berharga, dan harus terus dihidupkan sebagai sumber motivasi untuk membangun kebersamaan dan bekerja lebih keras untuk membangun Kabupaten Bogor.

Oleh sebab itu, kita perlu mengheningkan cipta mendoakan arwah para pejuang, bersyukur dan sebagai pemimpin wajib memberikan perhatian pada seluruh elemen masyarakat. Termasuk perhatian kesejahteraan untuk keluarga besar para pejuang kemerdekaan.

Di era sekarang ini, pekik “Merdeka” para pejuang, juga haruslah diadopsi menjadi pekik pembangunan. Khusus di Kabupaten Bogor, pekik “Merdeka” haruslah diadopsi menjadi pekik: “Bangkit Bersama Bogor Milik Kita !!!” (*)