Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Bogor yang berlangsung 2018 masih satu tahun lagi. Namun, sejak saat ini sangat perlu diingatkan mengenai politik uang atau jual beli suara yang terjadi sesaat sebelum atau sesaat sesudah hari pencoblosan. Kebetulan pula saya menjadi salah satu narasumber dalam Silaturahim dan Dialog Politik yang diselenggarakan Bogor Political Club di Savero Golden Flower Hotel, Kota Bogor, Sabtu (19/8/2017).
Dalam acara yang dipandu Helmy Yahya dan Effendy Gazali itu juga tampil sebagai narasumber yakni Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan, Wali Kota Bogor Bima Arya, anggota DPR RI Fraksi PKS Habib Aboe Bakar Al-Habsy, Wakil Wali Kota Bogor yang juga Plt Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bogor Usmar Hariman, Jajat Sudrajat dan Haikal Hasan. Tema yang dipilih adalah “Memenangkan Pilkada 2018-2019 Tanpa Money Politics, Mungkinkan.”
Soal politik uang atau money politics itu perlu menjadi perhatian, karena dalam acara itu tergambar jelas dampak negatif politik uang. Saya sendiri berkesimpulan, calon atau kandidat yang berhasil memenangi pilkada karena politik uang akan menjadi pemerintah berwatak PHP atau pemberi harapan palsu.
Mengapa, karena pemenang akan merasa tak perlu lagi bertanggung jawab terhadap rakyat karena sudah membayar melalui praktik politik uang yang diberikan sesaat sebelum atau sesudah hari pencoblosan, baik dalam bentuk sembako, barang tertentu atau sejumlah uang yang jumlahnya mungkin hanya Rp50.000 atau Rp100.000.
Pemerintah berwatak PHP seperti ini sulit diharapkan bisa bersikap sensitif apalagi responsif terhadap berbagai persoalan yang dihadapi rakyat. Jangankan menyejahterakan rakyat, mengentaskan kemiskinan yang ada saja akan sulit diharapkan. Pemerintah berwatak PHP cenderung hanya asyik dengan diri sendiri dan kelompoknya. Melalui politik uang kedaulatan tak lagi berada di tangan rakyat, akan tetapi berpindah ke tangan rezim pemilik uang.
Kandidat yang melakukan praktik politik uang kemungkinan dilatarbelakangi sejumlah persoalan. Antara lain karena kandidat tidak siap membuat program yang bisa menjawab secara akurat persoalan riil yang dihadapi rakyat, baik di bidang sosial ekonomi (pengentasan kemiskinan), bidang keagamaan (meningkatkan kesolehan masyarakat) atau tidak siap dengan konsep pembinaan basis ekonomi rakyat seperti pengelolaan UMKM, BUMDes dan sejenisnya atau tidak siap dengan konsep pengelolaan kelompok tani, tidak siap dengan konsep sinergi dengan investor lokal, regional, nasional atau internasional dan lain sebagainya.
Kandidat yang juga mudah terjerumus ke dalam praktik politik uang adalah kandidat yang merasa tidak siap atau lemah dalam melakukan komunikasi politik yang baik dengan rakyat. Karena merasa tidak siap, maka politik uang dijadikan sebagai jalan pintas menarik simpati pemilih. Ada pula kandidat yang menjadikan politik uang sebagai jalan pintas karena sebelum bertanding sudah merasa kalah bersaing dengan kandidat lain.
Selain itu, ketidakmampuan menggerakkan mesin partai juga berpotensi mendorong seorang kandidat mengambil jalan pintas melakukan praktik politik uang untuk meraih kemenangan secara tidak etis dan tidak elegan. Masih ada beberapa faktor yang berpeluang mendorong seorang kandidat melakukan praktik politik uang yang tidak saja membahayakan demokrasi, tapi juga membahayakan masa depan bangsa.
Pada pilkada yang dilaksanakan serentak di 101 daerah pada 2017 masih begitu banyak praktik politik uang. Tak kurang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan sebanyak 600 praktik politik uang. Ini berarti praktik politik uang hampir terjadi di semua daerah yang sedang menyelenggarakan pilkada.
Dalam kerangka ini, kita harus menyambut baik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengakomodir tidak pidana tidak saja bagi kandidat pelaku praktik politik uang, tetapi juga bagi pemilih yang menerima uang dari kandidat.
Pidana bagi kandidat pelaku politik uang secara jelas diatur dalam Pasal 187A Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Dalam Ayat (2) disebutkan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Guna menciptakan Pilkada Kabupaten Bogor yang jujur dan adil dan dalam mencegah terpilihnya pemberitahuan berwatak PHP sangat perlu bagi semua pihak, seperti ulama, ustadz, para guru, pejabat pemerintahan, pengusaha terutama yang memiliki banyak karyawan, untuk ikut menyosialisasikan undang-undang tersebut, terutama pasal yang mengatur pidana bagi calon pemilih penerima politik uang.
Aktivis mahasiswa, LSM, pers dan kelompok masyarakat kritis lainnya di Kabupaten Bogor sangat perlu turut mengambil peran dalam berbagai bentuk untuk mengawasi jalannya proses pilkada. (*)