BOGOR DAILY– Sepekan lagi pembongkaran pedagang kaki lima (PKL) Puncak tahap II akan segera dieksekusi. Sedikitnya ada sekitar 800 pedagang yang akan dipaksa angkat kaki dari jalur Puncak. Sementara, lahan relokasi yang dijanjikan tak kunjung dipenuhi pemerintah daera (pemda). Hingga rencana aksi ngemis terpanjang di sepanjang jalur itu mencuat dari para korban penggusuran Puncak.
Pasca pembongkaran PKL Puncak pada 5 September lalu, sebanyak 539 pedagang korban penggusuran belum mendapat kepastian tempat jualan. Bahkan, rencana mereka untuk ditampung di tempat wisata dan hotel hotel justru makin membebani pedagang dengan biaya sewa tempat mencapai Rp20 juta.
Belum juga rampung urusan itu, pekan depan Pemkab Bogor akan kembali mengeksekusi penggusuran pedagang untuk memuluskan proyek pelebaran jalan Puncak menjadi empat jalur.
Tak ingin bernasib sama dengan para korban penggusuran sebelumnya, sejumlah pedagang yang akan digusur pada tahap ke II menggalang aksi ‘Ngemis Terpanjang’ di jalur Puncak. Hal ini diungkap saat para pedagang dan aktivis Relawan Pejuang Demokrasi (Repdem) menggelar konferensi pers di Sekretariat PAC di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Senin (11/09).
Kordinator PKL Puncak Dadang Sukandar menyatakan PKL akan melakukan aksi mengemis terpanjang sedunia, apabila pemerintah daerah tetap ngotot melakukan pembongkaran PKL Puncak tahap kedua nanti.
“Kalau Pemerintah Kabupaten Bogor tetap menggusur PKL Puncak tanpa menyediakan tempat relokasinya terlebih dahulu maka kami akan melakukan aksi mengemis terpanjang sedunia. Kami para PKL Puncak akan berjejer di jalan untuk mengemis uang kepada para wisatawan,” jelas Dadang yang sering disapa Nanang.
Menurutnya, langkah pemerintah menggusur pedagang tanpa menyiapkan reloaksi sama dengan mengantarkan mereka menjadi pengemis karena harus kehilangan mata pencaharian.
“Iya dong, masa kios kami dibongkar, lalu kami harus libur makan, makanya jika kios pedagang tetap di bongkar, ngemis menjadi jawaban kami terhadap pemerintah,”ketusnya
Seperti diketahui, dalam pembongkaran tahap II ini sedikitnya ada 884 bangunan kios yang akan dibongkar. Termasuk juga dengan 51 bangunan rumah. Ini pula yang akhirnya membuat pedagang menggalang aksi ‘ngemis terpanjang’. “Kami akan lakukan aksi ngemis dari mulai gadog kalau sampai tempat relokasi itu belum disediakan,”kata dia.
Keluhan serupa juga datang dari warga yang rumahnya ikut dibongkar di Kampung Naringgul Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Tempat itu nantinya akan dijadikan tempat relokasi sekaligus rest area baru.
Salah satu warga Kampung Naringgul, Deden Supriatna (57), mengaku tidak terima jika bangunan yang berjumlah 51 kepala keluarga dikampungnya itu harus ditertibkan lantaran tidak adanya kejelasan dari pemerintah bagaimana nasib warga ke depannya nanti.
Ia juga menuturkan bahwa ia sama sekali tidak mendapat penjelasan dari pemerintah bahkan ia sempat bertanya ke pihak desa namun hasilnya nihil.
Padahal ia mengaku sudah membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) selama 27 tahun serta di kampung tersebut ia sudah membesarkan tiga anak dan kini sudah mempunyai tiga cucu.
“Tidak ada masalah kalau mau diambil untuk rest area, asalkan jelas, di Jakarta kan disediakan relokasi dulu, baru digusur, disini boro-boro, pengarahan kemana saya nanti, gak tahu, tidak ada sosialisasi,” ujar Deden
Ia juga mengatakan bahwa kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai penjaga vila itu seperti dianaktirikan. Kakek yang tinggal di sana sudah puluhan tahun tersebut juga berharap bisa bertemu dengan Bupati Bogor, Nurhayanti, agar ia bisa meminta kejelasan dari penertiban tersebut. “Saya inginnya dipanggil bupati, supaya keluhan masyarakat sampai, trus bagaimana tanggapan dia, nasib kita mau dikemanakan, hak kita, apakah saya berhak hidup atau tidak, jangan maen SP1, SP2, SP3, saya mohon dengan hormat,” ujarnya.
Terpisah, Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Rustandi mengatakan, bahwa yang sedang dilakukan ini adalah program besar, dimana pemerintah pusat berencana menata kawasan Puncak kearah lebih baik. Soal setuju dan tidak setuju, itu tergantung masyarakat melihatnya dari sudut pandang yang mana. Yang jelas undang-undang lalu lintas melarang ada bangunan berdiri di bahu jalan, dan bangunan itu sudah berdiri bertahun-tahun.
“Kalau pemerintah pusat punya rencana melaksanakan pelebaran jalan, dan bahkan proyeknya sudah ditenderken, berarti Pemkab harus sudah melakukan penertiban, toh ini kita sedang survei lahan relokasi, yang jelas Pemkab sedang berupaya meningkatkan derajat para pedagang, dengan menempatkan pedagang di tempat yang lebih baik,” ujar Rustandi.