Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Tak ada rotan akar pun jadi. Mungkin itulah yang dilakukan Pak Wawan (34) tukang tambal ban yang ditertibkan di Jalur Puncak, Kabupaten Bogor. Setelah kiosnya hilang tanpa ada relokasi, Pak Wawan nekat membuka usahanya walau beralaskan tanah dan beratapkan langit. Sebelum ditertibkan usaha tambal ban miliknya terbilang ramai. “Sekarang mah sepi. Mungkin tempatnya agak aneh. Terbuka tanpa atap,”cerita Pak Wawan kepada media lokal di Bogor.
Saya terenyuh membaca kabar tersebut. Ya, penertiban pedagang kaki lima memang menjadi tontonan yang selalu hadir dalam setiap berita di media massa. Pro-kontra wacana relokasi antara PKL dan pemerintah yang berkembang saat ini menunjukan suatu indikasi ketidakpuasan PKL terhadap kebijakan tersebut. Saat ini, peneriban PKL di jalur Puncak tentu juga menyita perhatian kita semua. Bahkan akibat kebijakan penertiban ini, sebanyak kurang lebih 1.300 pedagang di sepanjang jalur Puncak terancam kehilangan harapan hidup yang lebih baik.
Menertibkan PKL memang harus mengedepankan dialog. Ini seiring besarnya tingkat pertumbuhan pedagang kaki lima di negeri ini. Kebijakan untuk mensistematiskan keberadaan mereka pun menjadi agenda prioritas yang menurut saya penting bagi pemerintah. Akan terjadi disfungsi apabila kebijakan pemerintah justru “menghilangkan” mereka tanpa ada solusi.
Dalam membuat kebijakan publik, langkah-langkah dengar pendapat sangatlah teramat penting. Prof. Riyas Rasyid mengatakan, kebijakan itu akan sesuai dengan keinginan publik ketika pemerintah mengikut sertakan masyarakat untuk merumuskan suatu kebijakan. Karena itu partisipasi masyarakat–dalam hal ini PKL–merupakan hal yang patut.
Prof. Miriam Budiardjo juga mendefinisikan partisipasi sebagai seseorang atau kelompok untuk ikut secara aktif guna menyelaraskan kebijakan pemerintah. Partisipasi di sini harus diposisikan pada konsepsi, bukan dimaknai sekedar mobilisasi. Pemberian ruang partisipasi masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah. Dengan partisipasi ini diyakini akan mampu mengurangi “beban” pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan yang sesuai koridor Pancasila dan UUD 1945.
POTENSI KHAS PKL
Pedagang kaki lima merupakan kelompok sosial yang terkadang memberikan karakter nilai tersendiri bagi suatu daerah. Sebagai contoh Yogyakarta. Keberadaan PKL yang ada di sepanjang Jalan Malioboro memberikan nuansa khas yang akhirnya memberikan kontribusi positif dalam konstruksi wisata domestik dan mancanegara.
Pun demikian di daerah-daerah lain, termasuk daerah Solo, Jember, dan lain-lain. Keberadaan PKL seringkali membentuk tatanan sosial, budaya dan ekonomi yang menarik di suatu daerah. Bahkan di saat krisis moneter melanda negeri ini pada periode 1997-1999, usaha kecil dan menengah inilah yang mempunyai peranan penting dalam menjaga stabilitas.
Oleh karena itu, kewajiban pemerintah untuk melindungi rakyatnya. PKL juga harus diberi ruang untuk mempertahankan eksistensinya tanpa melanggar aturan. Pemerintah harus menampung mereka sejak level pembahasan peraturan.
Ada dua strategi merealisasikan keberpihakan ini. Pertama, membuat peraturan zonasi PKL dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Bila Pemda masih dalam proses penyusunan RDTR, segera rumuskan zonasi PKL. Misal, zona ruang terbuka hijau atau permukiman disisipkan juga zona PKL beserta aturan teknisnya.
Kedua, pemanfaatan jalan. Saat pelaksanaan Car Free Day di akhir pekan yang memberikan ruang jualan bagi PKL itu patut dipertahankan. Mengingat UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga sudah mengatur penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsi jalan. Realisasi dua strategi di atas memiliki tantangan tinggi yakni berupa penyediaan infrastruktur pembuangan sampah atau limbah PKL, terkhusus sampah kuliner. Sehingga Pemda juga harus mengkonsep manajemen pengambilan dan pembuangannya.
Selain itu, ada dua strategi pula yang bersifat manajerial. Pertama, membentuk tim khusus PKL. Tim ini bekerja untuk membina dan meriset PKL. Mungkin setiap Pemda sudah ada yang punya. Merujuk pada Urban Design Process karya Hamid Shirvani, masalah PKL tersebut termasuk dalam elemen signage (penandaan). Banyak alat peraga seperti gerobak atau tenda yang ditampilkan oleh PKL kurang estetis. Mulai dari komponen bentuk, komposisi warna, hingga pemilihan font (tipografi).
Masalah ini sebenarnya sangat potensial dibina untuk meningkatkan estetika atau keunikan lanskap perkotaan. Tak menutup kemungkinan, pelanggan PKL pun akan makin meningkat karena tergoda dengan alat peraga yang menarik. Selanjutnya, menggelar acara kreatif di area relokasi PKL secara rutin. Bisa konser musik, olahraga, festival/pameran kesenian. Strategi ini untuk mendatangkan “semut” atau keramaian.
Kemudian soal riset. Secara umum, menurut penulis, riset yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah di Indonesia masih kurang. Dasar Pemda melakukan penataan PKL tidak cukup dengan data mutakhir yang berisi identitas, lokasi, jenis, modal, dan waktu usaha. Data itu wajib diolah dan dikaji dengan berbagai variabel hasil pengamatan di lapangan. Riset PKL ini penting agar bisa menelurkan kebijakan yang makin terukur.
Terakhir, tak kalah penting pula peran media massa membentuk opini publik. Media massa bisa membentuk opini bahwa tujuan penertiban untuk mendidik PKL. Mereka harus paham ada hak orang lain dalam menggunakan fasilitas umum yang harus dihargai.
Usaha penertiban PKL yang menggunakan fasilitas umum, tak bisa dicap sebagai anti kemanusiaan atau melanggar hak asasi. Tiap orang tidak bisa menuntut hak secara penuh karena ada hak orang lain yang harus dihargai juga. PKL juga harus dididik menghargai lingkungan. Jamak ditemui PKL membuang sampah/limbah sembarangan. Pemerintah jelas tidak boleh membiarkan perilaku masyarakat yang cenderung merusak lingkungan.
Terlepas dari itu semua, kita juga patut mengapresiasi para PKL. Bahwa mereka sesungguhnya pengusaha gigih yang lahir dari kompetisi hidup yang tinggi. Kontribusinya terhadap siklus perekonomian juga tidak kecil. Bahkan, perguruan tinggi dengan kurikulum kewirausahaan pun belum tentu mampu melahirkan pengusaha segigih mereka.
Di era zaman yang sudah sangat transparan dan serba mengedepankan dialog, cara-cara menertibkan PKL dengan kekerasan tanpa solusi adalah sebuah masalah. Penertibkan mereka dengan tetap melihat mereka sebagai potensi ekonomi juga menjadi penting. Keberadaan para PKL adalah jelas sangat dibutuhkan pemerintah. Sebab “Pedagang Kaki Lima” juga manusia. Mereka telah teruji tak pernah memberi beban kepada pemerintah. Mereka bertahan hidup dengan keringat dan cucuran air mata. (*)