BOGOR DAILY- Hilarius Christian Event (15), remaja periang yang becita-cita kuliah di jurusan teknik ITB, meregang nyawa di tangan lawan duelnya dalam tarung bomboman, Januari 2016 silam.
Hila sapaan almarhum semasa hidup, dipaksa bertarung di tengah gelanggang ala gladiator, oleh kakak kelasnya. Saat itu, tradisi berujung maut tersebut digelar di Taman Palupuh Kelurahan Bantarjati, Kecamatan Bogor Utara.
Belakangan taman ini pun menjadi sorotan. Karena tak hanya kasus kematian Hilarius, tanah lapang yang ”tersembunyi” di belakang kawasan SMAN 7 Kota Bogor, ternyata sering menjadi lokasi aktivitas menyimpang oknum-oknum pelajar. Di tempat ini juga, siswa SMAN 7 menjadi korban bullying, penganiayaan fisik dan verbal, hingga dicekoki minuman beralkohol, beberapa waktu lalu.
Taman yang menjadi lokasi duel dua sekolah bergengsi ini tak jauh dari pusat kota. Lokasinya cukup terpencil. Di atas bukit dan tak banyak diketahui orang. Dari jauh, taman ini tersamar oleh bangunan perumahan Vila Citra. Sementara akses untuk menuju ke sana hanya jalan setapak dan sedikit curam.
“Dulu sebelum dijaga (park ranger), kalau sore, pojok-pojok gitu, kan, banyak yang mesum. Anak-anak tuh, minum-minum (minuman beralkohol),” kata Ridwan (34), warga sekitar.
Setelah terbangun 2014 lalu, Taman Palupuh menjadi idola karena memiliki fasilitas lapangan basket dan sepakbola. Tapi sebelum kasus Hilarius mencuat, taman ini dibiarkan nyaris tanpa pengawasan. Padahal Pemkot Bogor menerapkan penjaga taman (park ranger) di taman-taman lainnya.
Edy (44), park ranger Taman Palupuh, baru bertugas pada pertengahan 2016, pasca bomboman maut. Edy juga saksi mata saat Hilarius meregang nyawa. Dia hafal betul, peristiwa itu terjadi pada Jumat, di awal 2016. “Saya sempat curiga kok banyak anak SMA kumpul di tengah lapangan, gak jauh dari pohon mahoni.
Terus ada yang pingsan. Saya tanya, kenapa itu kayak pingsan? Jawab mereka: magh kambuh. Saya bilang, ya, sudah cepat-cepat ke dokter,” kenangnya
Edy bahkan sempat beberapa kali menegur rekan-rekan Hila agar segera membawa korban ke rumah sakit. “Karena gak kelihatan ada darah, atau apa, saya gak curiga,” ungkapnya.
Ketua RT di lingkungan sekitar, Uci Sanusi, ikut buka suara. Dia menjelaskan, lapangan tersebut memang kerap digunakan para pelajar SD hingga SMA untuk pelajaran olah raga. Tak jarang juga menjadi lokasi persembunyian siswa yang membolos. “Sekarang kalau di jam pelajaran pasti saya tegur dan saya usir. Jika masih ngeyel, kita catat dan kita ancam untuk dilaporkan ke pihak sekolah,” tuturnya.
Uci memastikan taman tersebut kini memiliki sistem keamanan yang cukup ketat. Tidak sembarang warga bisa berada di taman hingga larut malam. Meski kini pencahayaan taman sudah lebih baik, tetapi pengunjung tidak bisa seenaknya berada di taman. “Sebelumnya, lampu-lampu yang menggunakan tenaga matahari di taman itu tidak berfungsi.
Mesin dan akinya juga dicuri orang. Tapi sekarang sudah aktif lagi,” tuturnya. Menggunakan sambungan listrik, ada sekitar 17 tiang lampu penerangan yang kini berfungsi dengan baik.
Kondisi ini pun menjadi sorotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAID Kota Bogor Muhammad Faisal mengatakan, berdasarkan investigasinya, KPAID mengimbau adanya pengawasan yang intensif terhadap kondisi lingkungan sekolah dan titik kumpul pelajar dengan melibatkan seluruh unsur terkait. Pihak sekolah harus melakukan pengawasan dan evaluasi serta laporan secara menyeluruh terhadap kondisi lingkungan mereka.
Pemkot Bogor seyogyanya melakukan pengawasan lebih terhadap taman yang ada di Kota Bogor agar tidak disalahgunakan. Taman sebaiknya dilengkapi CCTV dan pengeras suara yang langsung dimonitoring oleh Satpol PP,” cetusnya.
KPAID juga mendesak adanya implementasi pendidikan karakter dan budi pekerti secara menyeluruh dalam seluruh aktivitas sekolah. Pihaknya juga mendesak kerjasama dan keterbukaan semua pihak terhadap kondisi yang ada, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.