Saturday, 20 April 2024
HomeKota BogorTes Keperawanan Pra Nikah Jadi Polemik

Tes Keperawanan Pra Nikah Jadi Polemik

BOGOR DAILY- Gultom mengusulkan  sebelum menikah untuk menekan tingkat perceraian di Indonesia. Dalam bukunya berjudul ‘Pandangan Kritis Seorang Hakim', Binsar mengatakan banyak perkawinan yang kandas akibat dimulai dengan terpaksa, termasuk karena hamil di luar nikah

Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA), sejak 2010 hingga 2014, dari 2 juta pasangan yang mencatatkan pernihakan, 300 ribu di antanya bercerai dengan berbagai alasan.

“Untuk itu, harus ada . Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah. Barangkalai, pernikahan bisa ditunda dulu. Mengapa harus demikian? Karena salah satu yang membuat terjadinya perpecahan dalam rumah tangga karena perkawinan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sudah hamil terlebih dahulu,” ujar Binsar.

Bahkan, Binsar juga meminta kepada lelaki untuk melakukan hal yang sama: tes keperjakaan.

“Tidak adil kalau wanita yang tes keperawannya. Bagaimana si lelaki? jika bukan perjaka lagi? Ini berkembang pengetahun kita. Kewajiban pemerintah untuk bisa mendeteksi sejauh mana seorang pria masih perjaka atau tidak, harus diangkat fokus berita ini,” kata Binsar, Senin (11/9/2017).

Hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Bangka Belitung itu meminta para ahli kedokteran meneliti dan membuat kajian cara mendeteksi mengetes keperjakaan seseorang. Dengan teknologi kedokteran yang sudah sangat canggih saat ini, Binsar yakin cara itu bisa ditemukan.

“Sekarang dokter atau ahli kandungan, (masak)tidak bisa mendeteksi soerang pria sudah tidak perjaka? Itu harus bisa, jaman canggih,” tegas Binsar.

Tak cuma , ia pun mengusulkan lima hal untuk menekan angka perceraian di Indonesia.

Di antaranya, menaikkan syarat usia calon pengantin, mewajibkan pasangan memiliki pekerjaan, poligami bersyarat, sanksi hukum bagi suami poligami yang tidak memenuhi keadilan, serta merevisi aturan soal penjara lima  tahun bagi pasangan suami istri.

Sekedar diketahui angka perceraian Kota Bogor enam bulan peratam di 2017 terbilang cukup tinggi. Tercatat sebanyak 796 pasangan baik dari pihak istri maupun suami mengajukan perkara perceraian Pengadilan Agama Bogor Kelas I A. Sedangkan di Kabupaten Bogor.

Menurut Ketua KNPI Kota Bogor, Bagus Maulana, wacana dan keperjakaan tidak tepat. Karena, untuk menekan perceraian tidka harus dengan melakukan cara yang kini masih dianggap tabu.

“Sangat tidak tepat. Banyak hal yang bisa meminimalisir perceraian selain dari tes yang sangat amoral dan melawan ketentuan agama itu. Bahkan, harus dipertanyakan kredibilitas personal yang telah menggulirkan wacana tersebut,” kata Bagus.

Dirinya menyarankan, untuk mengurangi jumlah perceraian sebaiknya pemerintah melalui KUA dapat dapat mengintenskan pelatihan atau bimbingan . Serta, materi dan kurikulumnya harus lebih berbasis religius. “Sebaiknya hal itulah yang harus dikedepankan. Berikan pelatihan atau bimbingan untuk pasangan yang akan menikah,” tutupnya

Sementara itu, dokter spesialis kandungan Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta, dr. Toto Imam Soeparmono, SPoG, K. Onk menyatakan,
biasa dilakukan oleh para calon istri tentara yang ingin menikah, di mana mereka akan direkomendasikan untuk melakukan serangkaian tes kesehatan.

“Jadi calon istri tentara itu memang harus bertemu komandan dulu, kemudian komandan merekomendasikan tes kesehatan. Nah, hasil tesnya, akan disampaikan ke anggota tentara maupun calon istrinya,” papar Toto.

Namun, istilah itu lebih populer disebut dengan tes kewanitaan. Dalam pemeriksaan tanda-tanda kewanitaan, lanjut Toto, dokter atau ahli akan mendeskripsikan hasilnya, di antaranya, keberadaan rahim, keberadaan alat kelamin keluar, termasuk selaput perawan.

“Secara umum, sebetulnya tesnya itu adalah tes menentukan apakah dia wanita atau bukan. Itu yang benar. Bahwa nanti di dalam deskripsi laporannya disebut tentang kondisi selaput perawannya, itu masuk dalam deskripsi lengkap,” ungkap Toto.

Sementara itu, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Kabupaten Bogor, Romdoni mengaku tak sependapat dengan langkah itu. Karena, tes tersebuit tidak menjamin bisa menurunkan tingkat “Saya fikir usulan itu hanya mengada-ada aja. Perceraian masih tetap tinggi. Hanya masalah penyadaran saja untuk meminimalisir perceraian,” kata Romdoni saat dihubungi, kemarin.

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Amin Sugandi. Ia malah mempertanyakan, wacana itu merupakan kebijakan siapa, dari mana asalnya, aturan dan pedoman yang dimaksud seperti apa. Karena, tidak bisa dilakukan hanya secara sepihak. “Apalagi tidak ada kajian dan standarnya. Itu tidak mungkin diterapkan,” kata Amin.

Menurutnya, wacana itu pun bukan salah satu faktor untuk mengurangi jumlah perceraian. Melainkan, lebih ditanyakan niat awal kedua pasangan menjalin rumah tangga, tujuannya seperti apa dan apa penyebab perceraian terjadi, bisa karena faktor batin tidak terpenuhi, fisik, ekonomi dan lingkungan.

“Kalau menurut saya lebih baik benahi mental pasangan suami istri untuk mengurangi tingkat perceraian. Apalagi terhadap pasangan pernikahan dini, karena kebanyakan perceraian terjadi terhadap pasangan muda,” ujarnya.

Terpisah, Psikolog dari Rumah Sakit Mata Jakarta Eye Center Ine Indriani, menyebutkan untuk membangun sebuah pernikahan, yang paling utama adalah kepercayaan dan loyalitas masing-masing pasangan. “Komitmen setelah menikah yang dibutuhkan. Kalau penting tidaknya itu tergantung value atau nilai yang dipegang tiap-tiap pasangan,” kata Ine.