Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Minggu depan saya mendapat kehormatan menerima award dari salah satu media nasional “Rakyat Merdeka”. Saya bersama beberapa menteri, sejumlah kepala daerah serta tokoh politik mendapat penghargaan “Democracy Award”. Ini sungguh sesuatu yang luar biasa bagi saya. Sama sekali tidak menyangka. Apalagi award ini berkaitan dengan demokrasi. Karena itu pula saya tergelitik lagi untuk membaca-baca dan kemudian mengulas tema ini dalam tulisan sederhana ini.
Bagi saya, jalan demokrasi di Republik Indonesia adalah cerita panjang yang sudah dipilih dan final oleh para pendiri bangsa. Sejarah panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dengan keputusan rakyat Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yang dijanjikan Jepang tak kunjung datang. Sejarah pun berlanjut.
Tiga sistem politik yang berbeda, masing-masing mengatasnamakan “demokrasi” telah dicoba ditegakkan selama lebih kurang setengah abad terakhir. Segera setelah Indonesia merdeka, Indonesia mencoba sistem demokrasi parlementer yang di kemudian hari dianggap terlalu “liberal”, kemudian menjelang dekade 1950-an dicoba pula sistem politik dengan nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja tidak demokratis, melainkan dinilai cenderung mengarah kepada sistem otoriterianisme. Pada kurun waktu terpanjang sesudah itu di Indonesia kemudian diberlakukan “demokrasi pancasila” di bawah orde Baru, yang berakhir pada 1998 dan yang melahirkan Reformasi.
Demokrasi merupakan hal yang sangat akrab dengan kehidupan kita sebagai warga negara. Demokrasi adalah sebuah sistem atau tatanan pemerintahan yang dianut oleh suatu negara tertentu. Pengertian demokrasi secara garis besar merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana setiap rakyat memiliki persamaan dan kesetaraan hak untuk mengemukakan pendapat, dan memilih sebuah pilihan tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain.
Makna demokrasi pada dasarnya sangat luas mengingat arti demokrasi sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan yang mengatur tatanan sebuah negara yang menyangkut pemerintah dan rakyat. Secara tidak langsung demokrasi memiliki makna bahwa sebenarnya pemerintahan dan kekuasaan tertinggi suatu negara berada di tangan rakyat.
Sistem pemerintahan demokrasi menganut asas yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hakikat demokrasi adalah sebuah sistem bermasyarakat dengan menekankan kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Hal ini mencakup berbagai aspek didalam pemerintahan. Seperti contoh pemilihan pemimpin negara atau presiden yang dipilih secara demokratis yakni rakyat dapat memilih calon presiden tanpa ada paksaan dari pihak lain.
DEMOKRASI LIBERAL
Di awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden waktu itu, di mana dalam maklumat tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu lebih kurang 40 partai telah lahir di Indonesia. Namun pada kenyataannya dalam kondisi yang sedemikian, bukannya menambah suburnya sistem demokrasi di Indonesia, melainkan kekacauan sistem politik negara. Ini terbukti, kabinet-kabinet yang ada pada waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru, dan bahkan menurut penilaian Presiden Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah dan hanya menjadi penyebab gontok-gontokan dan penyebab perpecahan. Bahkan dalam pidatonya dia menilai partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi bangsa dan negara.
DEMOKRASI TERPIMPIN
Dalam suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana kata Soepomo, maka muncul gagasan “demokrasi terpimpin” yang dilontarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957. Mula-mula pandangan ini dicetuskan Partai Murba serta Chaerul Saleh dan Ahmadi. Namun gagasan tanpa perbuatan tidak terlalu berarti dibanding gagasan dan perbuatan langsung dalam usaha mewujudkan gagasan itu. Dan inilah yang dilakukan Soekarno.
Soekarno sebagai pemimpin tertinggi pada era demokrasi terpimpin menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan tidak efektif dan kemudian Soekarno memperkenalkan dengan apa yang di sebut dengan ”musyawarah untuk mufakat”. Banyaknya partai politik menurut Bung Karno adalah penyebab tidak adanya pencapaian hasil dan sulit dicapai kata sepakat karena terlalu banyak berdebat atau bersitegang urat leher.
DEMOKRASI PANCASILA
Pelaksanaan demokrasi pancasila ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Presiden Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik KKN yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.Politik Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali pada 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintah mencanangkan program Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), kegiatan pembelajaran secara mendalam tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, agar Pancasila dan UUD 45 ini tidak hanya dihafalkan tapi diamalkan dalam sendi kehidupan. Di masa orde baru, penataran P4 wajib diselenggarakan di berbagai bidang.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi”. Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
DEMOKRASI SAAT INI
Demokrasi di Indonesia pada saat ini justru semakin terkonsolidasi. Pada tahap transisi, Indonesia telah berhasil melakukan reformasi politik, terutama dalam bentuk amandemen UUD 1945, yang menekankan pada pembatasan kekuasaan presiden, penguatan peran DPR, pemilu yang bebas dan jaminan kebebasan berekspresi. Transisi ini dilalui pada 2004, meski transisi itu juga tidak terlepas dari berbagai persoalan yang cukup krusial. Diantaranya munculnya konflik komunal serta perdebatan kembali tentang posisi syariat Islam dalam amandemen UUD 1945.
Konsolidasi demokrasi di indonesia memang masih menghadapi sejumlah problem dan hambatan, antara lain masih banyaknya praktik politik uang, mafia hukum, konflik pilkada, konflik komunal dan lain-lain. Namun, kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat saat ini masih dalam koridor demokrasi, terutama adanya kontrol terhadap penyelenggara negara, pemilu bebas, kebebasan berekspresi serta kebebasan pers. (*)