Friday, 22 November 2024
HomeKota BogorBerpolitik Bodoh

Berpolitik Bodoh

Oleh: Sugeng Teguh Santoso, SH
(Calon Walikota Bogor 2018)

Calon walikota ingusan. Mungkin ada benarnya istilah itu dialamatkan pada saya. Apalagi melihat latar belakang saya sebagai seorang aktivis sekaligus praktisi hukum yang  membulatkan tekad untuk maju di Pemilihan Wali Kota Bogor (Pilwakot).

Walaupun belum mengantongi rekomendasi partai, saya tetap ikhtiar menyosialisasikan diri sebagai calon walikota. Saya datangi warga dari kampung ke kampung. Menyusuri gang sempit hingga masuk ke pemukiman warga yang tak hanya padat tapi juga kumuh.

Saya pun membaur bersama mereka yang kebanyakan hidup pas-pasan. Seabreg masalah pun akhirnya mereka curahkan, begitu saya memperkenalkan diri sebagai calon walikota.
Bukan sekedar harapan dan permintaan yang ditumpahkan. Bundelan proposal juga banyak disodorkan.

Bahkan, fasilitas umum yang seharusnya memiliki pos anggaran untuk dirawat juga banyak dikeluhkan. Mulai dari posyandu rusak, MCK, aula, perbaikan mushola dan seabreg masalah lainnya.

Semua itu ditodongkan  ke saya dengan harapan keinginan itu bisa diwujudkan. Kadang ada pula warga yang menatap saya dengan skeptis dan penuh curiga. Karena, merasa setiap calon kepala daerah dan bahkan anggota dewan sekalipun hanya bisa memberikan janji manis.

Itu pula yang saya baca dari raut mereka.”Ah…paling pak STS cuma janji doang” kira kira begitu batin mereka.

Tentu sebagai calon walikota ingusan yang tidak memiliki mentor politik, saya cuma bisa menengok kanan-kiri. Saya memperhatikan apa yang dilakukan oleh para politisi senior yang sudah mengakar di kota ini. Tapi sayangnya, saya tidak mendapatkan model solusi.

Karena, sekelas anggota dewan pun mereka sering memberikan ‘angin surga’ kepada warga lewat program aspirasi yang katanya akan diperjuangkan. Tapi kenyataannya? Janji itu justru berbanding terbalik dengan kenyataan yang selama ini dirasakan warga.

Pantas saja, banyak warga yang sering tak percaya dengan sosok calon wakil ataupun pemimpinnya di pemerintahan. Akhirnya, saya pun tetap menjadi diri sendiri.Saya sadar tidak bisa memenuhi semua keinginan warga. Tapi, rasa empati yang sudah mendarah daging jauh sebelum pencalonan ini dilakukan menjadi kekuatan saya untuk meringankan penderitaan warga.

Beberapa masalah warga akhirnya saya janjijan dan saya penuhi ketika memang ada rezekinya. Saya selalu berusaha memberikan solusi cepat, bahkan kadang naif bereaksi cepat tanpa mikir resiko pada diri sendiri.

Kata orang, saya telah berpolitik bodoh. Karena, apa yang saya lakukan bisa menguras dana. Padahal, belum tentu orang yang saya tolong memilih saya jadi walikota. Apalagi rekomendasi partai pun masih belum jelas.

Ya, bisikan itu sering berseliweran di telinga. Mungkin benar, inilah kebodohan dalam wilayah politik praktis. Tapi, bagi saya masalah warga adalah nyata, faktual dan perlu diatasi kalau saya bisa dan mampu.

Jadi tidak ada alasan apakah saya akan terpilih atau tidak, selagi mampu meringankan warga, kenapa tidak. Itu saja.

Di atas comuter liner Jakarta-Bogor
23 November 2017
Salam Adil untuk Warga Miskin