Friday, 22 November 2024
HomeKota BogorPilkada Berkualitas

Pilkada Berkualitas

Oleh:

Sugeng Teguh Santoso, SH

(Calon Wali Kota Bogor 2018)

 

Apa itu pilkada dan demokrasi berkualitas? Pertanyaan itu menarik untuk dibahas. Hajat politik  yang berlangsung lima tahun sekali menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk menerapkan praktik demokrasi yang sesungguhnya.

Tapi sudahkan pilkada dan demokrasi kita berkualitas? Saya jadi ingat saat diskusi tentang demokrasi berkualitas yang Minggu (29/10) lalu digelar Radar Bogor bersama Bawaslu RI.

Dengan menggandeng Perludem dan Kopel, Bawaslu RI bersama koran lokal Bogor akhirnya sepakat membuat kerjasama untuk memantau Pilkada 2018 dan Pileg 2019 demi mewujudkan demokrasi berkualitas.

Saya masih ingat definisi pilkada berkualitas yang disampaikan  CEO Radar Bogor Hazairin Sitepu. Dalam pemikirannya, penyelenggaraan pilkada berkualitas adalah memilih calon kepala daerah yang memiliki kualitas dan integritas.

Artinya, kepala daerah yang terpilih pun harus orang yang berkualitas dan  berintegritas.  Jika dijabarkan lagi maka sosok pemimpin terpilih tidak lagi mendasarkan keputusannya pada kepentingan diri sendiri atau bergerak atas nama kelompok dan golongan, melainkan atas nama kepentingan bersama rakyat.

Kualitas kepemimpinan terakumulasi dari beberapa syarat. Pertama, kapasitas pribadi yang terbentuk dari pendidikan dan karakter positif yang kuat. Kedua, rekam jejak nyata yang ditorehkan secara konsisten dalam proses yang panjang. Ketiga, teruji dalam membuat keputusan sulit yang membutuhkan independensi dan nyali.

Sedangkan integritas bisa dilihat dari kata dan perbuatan yang sejalan. Seorang teman mengartikan integritas sebagai kata bermaterai, sehingga tidak akan berubah antara kata dan pebuatan.

Artinya, ketika seseorang berkata akan melayani rakyat hal itu  diwujudkan dengan kerja keras. Begitu pula saat seorang calon pemimpin menyatakan antikorupsi. Maka, perkataan itu bukan sekedar seremoni melalui penandatanganan kerjasama dengan penegak hukum. Padahal,  kronisme mengakar kuat dan terseret dalam arus kasus korupsi.

Masalahnya, saat ini pemimpin berkualitas dan berintegritas sudah jadi barang langka. Karena, era politik masa kini mengusung pragamtisme.  Kualitas dan integritas kepemimpinan menjadi dua kata keramat yang selalu dicari dari sosok pemimpin.

Tapi sayangnya, keduanya hanya menjadi angan belaka karena mayoritas pemimpin partai hanya menganggap kualitas dan integritas sebagai lips service. Mereka mengakui jika dua kata itu penting tapi bukan menjadi kebutuhan.

Karena, saat ini pragmatisme politik yang menduduki peringkat pertama dalam pemilihan calon pemimpin.  Seperti yang bisa dilihat dari penunjukkan Partai Golkar dalam Pilkada Jawa Barat.

Ketua DPD Golkar Jabar Dedy Mulyadi  yang berjuang dan berkeringat membesarkan partainya di Jabar diabaikan begitu saja. Malahan, partai berlambang pohon beringin itu memilih Ridwan Kamil yang jelas-jelas bukan kader partai sebagai Calon Gubernur yang diusungnya.

Lalu, apa yang mendasari keluarnya keputusan itu? Tentu itu menjadi urusan internal partai. Akan tetapi, dipilihnya seseorang yang bukan berasal dari kader menjadi penegasan soal makin tumbuhnya pragmatisme partai dalam meraih kekuasaan.

Persoalan nilai-nilai perjuangan partai, soliditas, solidaritas hanya menjadi untaian kata manis dalam anggaran dasar partai.

Lalu bagaimana pilkada berkualitas yang bisa mencetak pemimpin unggul?

  1. Penyelenggara Pilkada harus independen

Dalam konteks ini dibutuhkan KPU dan Bawaslu yang independen. , Artinya, mereka yang ahli dan mampu serta mau mengungkap pelanggaran yang terjadi. Baik secara administratif dalam proses maupun pelanggaran pidana. Isu dalam wilayah ini adalah pada level wilayah sudah menjadi rahasia umum bahwa seluruh kekuatan politik akan berusaha menempatkan personilnya dalam struktur penyelenggara pemilu pusat maupun daerah.

Calon perseorangan yang kuat akan sangat berat menghadapi masalah ini. Padahal, problem besar terjadi justru pada level paling bawah. Mulai dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bermain suara.

  1. Pemilih yang melek politik

Warga dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagian besar adalah warga non partai atau istilahnya swing votters. Mereka ini adalah  massa mengambang yang umumnya masa bodoh alias cuek dengan  kontestasi politik yang terjadi.

Swing voters  pada level ekonomi bawah rentan atas praktik money politik bahkan murah sekali. Suara mereka bisa digadaikan dengan bayaran  Rp100 ribu atau Rp200 ribu yang biasanya diberikan di hari pencoblosan.

Sedangkan warga pemilih pada level kelas menengah yang tinggal di pemukiman elite cenderung apolitis. Mereka tidak akan memilih pada hari pencoblosan. Buktinya, pada Pilkada Kota Bogor fenomena golput marak terjadi di kelompok ini. Terjadinya hal itu dipicu karena pendidikan politik bagi warga tidak berjalan utuh.

  1. Partai Politik Yang Kuat dalam Kaderisasi dan Ideologis

Partai politik wajib melakukan kaderisasi secara berjenjang dan konsisten.  Pragmatisme partai yang semata hanya ingin memenangkan kursi kekuasaan adalah lawan dari kondisi partai kader dan ideologis. Seperti  fenomena Partai Golkar yang tidak memilih kadernya di kontestasi gubernur Jabar.

Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Bogor juga menampilkan fenomena partai sebagai wahana transformasi kepemimpinan daerah. Partai yang ada  gagal menampilkan kaderkader  yang siap bersaing dengan incumbent. Nyaris semua ketua partai tidak percaya diri menjadi rival incumbent Bima Arya. Karena, kebanyakan mereka ingin  menjadi pasangan Bima Arya sebagai pendamping.

Minimnya kader partai yang mumpuni menjadi hambatan dalam mewujudkan pilkada  berkualitas. Apalagi untuk melahirkan pemimpin berkualiyas dan berintegritas. Padahal,  warga berhak mendapatkan alternatif tokoh pemimpin yang bisa mereka pilih secara kompetitip.

Dana alokasi partai yang disediakan sebagai dukungan partai berkegiatan termasuk di dalamnya menelurkan calon pemimpin baru tidak mencapai tujuaannya. Bahkan terdapat sinyalemen akan muncul calon tunggal Pilwakot Bogor. Kalau ini yang terjadi sungguh merana warga Kota Bogor.

 

Parakan Salak 5 November 2017

STS/Sang Pembela