BOGOR DAILY- Pemberlakuan program angkot masuk kampung yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor sejak Rabu (27/12) menuai berbagai reaksi. Tak hanya protes warga pengguna angkot, para sopir pun mengaku kebingungan dengan adanya perpanjangan trayek maupun perubahan tarif. Sedikitnya ada enam rute panjang yang harus ditempuh dengan ongkos Rp7.000
DALAM selebaran penyesuaian tarif angkot yang disebarkan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor, tarif Rp7.000 berlaku untuk perjalanan Ciawi-Bubulak atau sebaliknya, Ciparigi-Terminal Merdeka atau sebaliknya, Cipinang Gading-Perumahan Yasmin atau sebaliknya, Ciawi-Ciparigi atau sebaliknya, Terminal Bubulak-Ciparigi atau sebaliknya dan Ciawi-Terminal Bubulak via Lawanggintung/Suryakencana atau sebaliknya.
Beberapa sopir angkot kebingungan dengan rerouting atau perubahan trayek yang baru diujicoba dua hari ini. Seorang sopir angkot trayek Transpakuan Koridor (TPK) 2 Jurusan Bubulak-Baranangsiang-Ciawi, Arman (23), merasa kewalahan menyesuaikan dengan trayek baru. Arman mengaku sempat kelupaan dan tidak melanjutkan kendaraan ke Ciawi. Sebab, angkot yang biasa ia bawa hanya sampai hingga Terminal Baranangsiang, sebagai pos terakhir jurusan angkotnya. “Tadi sempat lupa, untung diingatkan,” katanya.
Sopir yang sebelumnya membawa angkot 03 Bubulak-Baranangsiang ini merasa kurangnya sosialisasi Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Menurutnya, banyak sopir lain yang belum terbiasa dengan jalur baru tersebut. “Kurang banget, banyak sopir lupa. Harusnya lebih gencar lagi, rambu jalan kek. Seharusnya ada selebaran yang berfungsi sebagai pengingat sopir yang dibuat Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor,” ketusnya.
Terpisah, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Bogor Mochammad Ishak mengatakan, Pemkot Bogor seharusnya lebih gencar. “Jika begini, seperti dipaksakan, karena persiapannya belum matang. Harusnya di setiap tikum (titik kumpul, red) ada spanduk pemberitahuan. Misalnya, di Sukasari, Bubulak, Baranangsiang, dan Ciawi di sediakan papan jurusan. Nah ini kan belum ada, wajar sopir kebingungan,” katanya.
Meski begitu, sambung Ishak, pihaknya mendorong kebijakan rerouting karena sejak 1984 belum ada perubahan trayek. Yang ada hanya penambahan trayek karena perluasan wilayah. “Rerouting memang perlu, karena sopir mah nerima-nerima aja sebenarnya, asal persiapannya matang. Ini kan kebijakan lama, kalau makin lama juga ini nggak bagus, karena makin digantung, harga jual angkot kan nantinya murah,” ucapnya.
Soal tarif, kata Ishak, Organda belum memikirkan hal tersebut. Pihaknya lebih menekankan soal kesiapan kebijakan rerouting, sebagai awal dari kebijakan konversi angkot ke bus sedang dan trayek feeder. Hingga kini, baru TPK utama yang berjalan, sedangkan trayek feeder belum.
“Tarif kan kami lihat dulu di pasar seperti apa, mekanisme tarif kan sesuai SK wali kota. Mereka yang tidak masuk TPK utama, artinya di jalur feeder, untuk sementara masih di trayek lama, sembari melihat evaluasi ini.” ujarnya.
Di bagian lain, Wali Kota Bogor Bima Arya menegaskan sosialisasi rerouting ini harus kuat dan masif, karena uji coba perubahan trayek akan membingungkan sopir dan penumpang juga. “Ya pasti kebingungan lah, makanya sosialisasinya jangan berhenti, harus kuat. Ada juga beberapa laporan di barat terjadi overlap, makanya itu yang harus dievaluasi, dilihat nanti, namanya juga uji coba. Dua atau tiga bulan lah kita lihat,” ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menerangkan, belum ada laporan soal keluhan dari sopir ataupun penumpang. Tarif yang ada sekarang masih dikaji lagi nantinya, sampai ada evaluasi. “Rp7 ribu itu kan tarif paling jauh, karena berdasarkan jarak tempuh. Semua sama, baik di TPK 2, 3, ataupun 4. Yang utama dari rerouting ini kan mengaktifkan dulu trayeknya, baru setelah itu konversi ke bus sedang, yang nantinya mengisi trayek-trayek yang sudah jalan duluan. Tahun depan dijamin sudah bisa konversi ke bus sedang lah,” tandasnya.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menuturkan, Pemkot Bogor seharusnya tidak hanya melakukan rerouting trayek angkot, tetapi juga manajemen pengelolaannya diperbaiki. “Misalnya, terapkan sistem gaji bulanan, bukan setoran. Penyelesaiannya harus menyeluruh, susah kalau parsial. Rerouting angkot ini bisa jadi malah bisa jadi masalah baru, karena akar masalahnya tidak disentuh,” katanya.