Oleh Sugeng Teguh Santoso
(Calon Wali Kota Bogor 2018)
Muhamad Miki alias Miki. Seorang aktivis lingkungan lokal dari Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor. Lelaki ini pernah mendekam selama empat bulan karena dikriminalisasi oleh perusahaan tambang. Tapi akhirnya ia bisa bebas dari dakwaan jaksa di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong.
Saat ini Miki sudah menjadi orang merdeka, karena kasasi jaksa juga ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Kasus Miki membuat saya kembali mengingat tentang apa yang selama ini telah dilakukan Yayasan Satu Keadilan. Sebuah lembaga non government organization (NGO) yang konsen bergerak di bidang advokasi hukum.
Selain kasus kriminalisasi atas aktivis lingkungan Miki, Yayasan Satu Keadilan juga membela warga Antajaya, Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bogor dalam menggugat pembatalan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama Perhutani melalui Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Bandung. Dalam putusan itu, majelis hakim akhirnya mengabulkan gugatan warga. IUP atas nama Koperasi Perhutani pun secara otomatis dibatalkan dengan keluarnya putusan Kasasi MA.
Pembelaan dilakukan oleh kami, selama hampir tiga tahun tanpa jeda. Bahkan, sampai sekarang pun belum berhenti. Kami masih di sini. Di bidang advokasi bersama warga yang memang membutuhkan bantuan hukum.
Selain advokasi tersebut, puluhan kasus masyarakat juga masih kami tangani. Mulai dari kekerasan seksual pada anak, ribuan warga Manislor, Kabupaten Kuningan yang memperjuangkan untuk memperoleh KTP Elektronik (KTP-el), juga tentang diskriminasi dan persekusi atas warga Ahmadyah serta hak atas tanah sunda wiwitan, dll.
Masyarakat miskin yang buta hukum, dan kaum marjinal memang membutuhkan pembelaan hukum. Termasuk advokasi politik dalam hal ini kebijakan agar mereka bisa memperoleh hak atas hidup, sosial, budaya.
Pembelaan ini kebanyakan dilakukan oleh NGO. Saya lebih suka menggunakan istilah NGO ketimbang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat-red). Karena, saat ini LSM sudah menjamur se-antero Indonesia. Tapi, jangan ditanya tentang peran mereka.
Karena, tidak banyak LSM yang menjalankan fungsinya sebagai pembela warga. Malahan, beberapa kasus terungkap kalau LSM jadi wadah untuk memeras. Bahkan ada juga yang menjadi bekingan pengusaha untuk menekan warga. Miris.
Para pejuang masyarakat akhirnya hanya mengerucut pada NGO ‘itu-itu saja’ yang memang telah berjuang sejak zaman represif orde baru (Orba).
Sementara, saat ini adalah eranya partai politik. Seorang politikus akan turut serta menentukan kebijakan publik. Sehingga apabila mereka melakukan advokasi kebijakan/politik, maka persoalan apapun akan lebih cepat direspon pemerintah daripada advokasi oleh NGO seperti kami.
Banyak persoalan yang dialami masyarakat miskin dan kaum marjinal. Mereka berjuang menuntut hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, hak atas hidup, hak masyarakat adat dll. Juga kasus lingkungan hidup seperti yang pernah dialami warga Desa Antajaya. Persoalan itu makin menumpuk dari hari ke hari dan mereka semua membutuhkan solusi.
Lalu, bisakah mereka berharap pada politikus partai untuk memperjuangkannya? Biarlah ini dijawab oleh mereka para politisi.
Tol Cipularang menuju Cilacap 3 Desember 2017
Salam