Wednesday, 17 April 2024
HomeKota BogorModal Koran Bekas, Warga Bogor Jadi Pengusaha Tajir

Modal Koran Bekas, Warga Bogor Jadi Pengusaha Tajir

BOGOR DAILY-Meski jumlahnya masih sedikit, namun mulai banyak orang-orang yang memilih menjadi social entrepreneur, salah satunya Aling Nur Naluri. Namanya sudah cukup dikenal sebagai salah satu founder dari Rancage, produk kerajinan tangan yang terbuat dari koran bekas.

Nur menjelaskan awal mula dia dan rekannya mendirikan Rancage ketika melihat kehidupan masyarakat sekitar Sekolah Alam Bogor tempatnya bernaung. Dia melihat banyak ibu-ibu yang hidupnya pas-pasan yang sulit mencari pekerjaan untuk membantu suaminya.

Kebetulan saat itu dia juga tengah menjalankan program bank sampah, di mana para siswa Sekolah Alam Bogor diminta untuk mengumpulkan sampah-sampah. Nah karena melimpahnya sampah, Nur terbesit untuk membuat sebuah kerajinan berbahan sampah.

“Sampahnya kita riset, ada sekitar 11 jenis sampah yang kami riset. Ternyata bahan koran yang marketable yang cukup diapresiasi. Bahan-bahan lainnya banyak tapi akhrnya mengerucut ke koran,” terang Nur.

Proses riset yang dilakukan pada 2012 itu sebenarnya tidak mudah. Membutuhkan waktu selama 1 tahun bagi Nur dan timnya untuk menemukan teknik pelintingan koran dan jenis coating-nya sebagai bahan pendukungnya. Bahkan dari modal awal hampir Rp 10 juta, sebagian besar dihabiskan untuk proses riset tersebut.

Untuk modal Rp 10 juta, Nur mengaku mendapatkannya dalam program garage sell yang dia lakukan bersama dengan orangtua murid Sekolah Alam Bogor. Saat itu para orangtua murid diajak berpartisipasi untuk menjual barang-barang yang sudah tidak terpakai.

Tahun pertama juga menjadi tahun yang paling sulit bagi Nur untuk mengembangkan Rancage. Awal mulanya dia mampu mengajak sekitar 6 orang ibu-ibu. Namun saat itu banyak ibu-ibu yang belum percaya bahwa bisnis sosial itu akan dijalankan secara serius.

“Jadi pembuktian ke masyarakat ini yang susah. Dari 6 orang di akhir tahun sisa 2 orang. Mereka keluar dengan berbagai alasan juga, ada yang pindah sampai karena keluarga,” kenangnya.

Namun saat itu Nur sudah mulai rajin ikut pameran-pameran produk kerajinan tangan. Saat itu produk-produk Rancage belum begitu bervariatif, hanya seperti tempat pensil, keranjang dan lain-lain.

Ikut pameran dan ekspor

Tahun kedua dia juga masih rajin ikut pameran. Dia memang sengaja tidak terlalu banyak menjual produknya secara eceran melalui toko ataupun online. Sebab menurutnya dengan semakin besar orderan yang masuk semakin besar ibu-ibu yang bisa diberdayakan.

“Kita ingin impact-nya besar, mau tidak mau skala ordernya juga harus besar. Karena semakin banyak ibu-ibu yang bergabung, semakin besar juga kapasitas produksinya,” imbuhnya.

Memasuki tahun ketiga, akhirnya Rancage mulai menarik perhatian sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut melakukan orderan dalam skala besar sebagai souvenir untuk perhelatan ulang tahun korporasi.

“Dari situ mulai banyak perusahaan yang order. Sekarang sudah ada sekitar 15 perusahaan yang order ke kita,” imbuhnya.

Roda bisnis Rancage pun bergulir semakin kencang. Di tahun keempat Rancage mulai merambah pasar mancanegara.

Awal mulanya Nur mengikuti pelatihan eksportir yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Dari situ dia mendapatkan ilmu tentang regulasi dan penetapan harga untuk pasar ekspor. Kebetulan juga Nur mendapatkan mentor Helianti Hilman, seorang eksportir ternama pemilik Javara produk bahan makanan organik Indonesia yang sudah mendunia.

“Jadi kita juga ekspor pertama kali co-branding dengan Javara. Kami dibantu, jadi banyak produk Javara yang menggunakan packaging Rancage, tapi brand-nya terpampang dua. Itu diekspor ke Italia dan beberapa negara lainnya,” kata Nur.

Dari situ, dia mulai menjajal untuk mencari buyer sendiri dari luar negeri. Nur mendapatkan buyer pertama sebuah perusahaan olive oil dari Amerika Serikat (AS). Rancage diminta untuk membuatkan packaging untuk produknya.

Sejak saat itu, pasar ekspornya pun semakin berkembang. Kini Rancage mampu memproduksi 2 ribu-3 ribu untuk produk berukuran medium dan 5 ribu-7 ribu untuk produk berukuran kecil per bulan. Produk-produk tersebut dikerjakan oleh 90 ibu-ibu yang dia berdayakan dan menghabiskan 500 ton koran bekas per bulan.

Produk-produk yang dihasilkan juga sudah berlimpah. Ada sekitar 200 desain yang telah dilahirkan, mulai dari tempat pensil, meja, kursi, lampu hingga hiasan dinding. Semuanya terbuat dari koran bekas dan bahan tambahan lainnya yang mampu bertahan cukup lama.

“Produk yang paling murah tempat pensil Rp 10 ribu, dan paling mahal itu hiasan dinding seperti tikar berukuran 6×6 meter seharga Rp 4 juta. Kalau daya tahannya saya belum tahu pasti, tapi ada buyer kami yang bilang kalau bertahan 3 tahun dia mau order lagi, sekarang dia sudah order lagi,” tutur Nur.

Saat ini Rancage sudah menghasilkan omzet sekitar Rp 300 juta- Rp 500 juta per tahun atau sekitar Rp 25 juta-Rp 41 juta per bulan. Belum begitu besar memang, namun cukup untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

Nur menjelaskan, dari omzet yang didapat sekitar 20% untuk penganyam, lalu 20% untuk biaya kontribusi ke lingkungan sekitar, 10% untuk alokasi darurat ketika ada ibu-ibu yang sakit atau keadaan darurat lainnya. Lalu 20% lagi untuk bahan penunjang seperti coating dan 10% untuk tabungan warga.

“Jadi untuk Rancage bahkan seringnya di bawah 20%. Itu juga untuk gaji staff operasional lain. Kalau saya sudah cukup dari suami saja,” pungkas Nur.