Saturday, 20 April 2024

Polemik LGBT

Oleh: Hj. , SH, MH

(Calon Bupati Bogor 2018)

Lesbian, gay, biseksual, dan transgender () belakangan kembali menjadi perbincangan ilmiah di Indonesia. Perbincangan menjadi demikian hangat, lebih khusus setelah Mahkamah Konstitusi dianggap melegalkan perzinahan dan hubungan sesama jenis. Tak luput, ILC yang diawaki TV-One, dengan “Presiden” ILC,  Karni Ilyas, membawa dan menganalisa soal ini, dalam slot khusus dengan durasi waktu yang sangat panjang.

Pada 14 Desember 2017, melalui putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi bulan-bulanan di media sosial. Serangan tidak sebatas pada institusi, tapi juga pada diri individu para hakimnya. Mereka dinilai pro terhadap perzinaan dan (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). 

Pemohon dalam putusan tersebut ingin MK melakukan kebijakan pidana (criminal policy) dalam pengertian merumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, menjadi pidana. Setidaknya ada tiga hal yang diminta. Pertama, zina, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP, akan mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. 

Kedua, pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, akan menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. 

Ketiga, perbuatan cabul, sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur.

Dalam putusannya, MK secara tegas menyatakan bahwa seluruh pertimbangan yang telah disampaikan dalam putusan tersebut, namun bukan berarti MK menolak gagasan “pembaruan” para pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti MK berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan pengujian oleh pemohon, sudah lengkap. 

Menurut MK, perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk UU melalui kebijakan pidana yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan oleh pemohon seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk UU dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.

Inilah poin penting yang harus menjadi mula dari diskusi ini. Bahwa MK tidak mau masuk pada wilayah pembuat UU. Bahwa membuat aturan hukum yang sifatnya memidanakan adalah ranahnya pembentuk UU. Ini adalah soal pilihan. MK sudah berkomitmen hal demikian adalah ranahnya lembaga pembentuk UU. 

Putusan tersebut sejatinya konsisten dengan beberapa putusan sebelumnya. Seperti, misalnya, putusan Nomor 132/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP, yang mana MK berpendapat bahwa merumuskan tindak pidana baru yang semula perbuatan itu bukan perbuatan pidana, maka harus mendapat persetujuan rakyat, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pembentuk UU (DPR dan Presiden), adalah kewenangan pembentuk UU. 

Berbeda halnya jika meniadakan suatu pidana. Dalam beberapa kali kesempatan, MK meniadakan unsur pidana dalam UU. Misalnya, dalam putusan 95/PUU-XII/2014 yang mana MK meniadakan unsur pidana terhadap orang-orang yang sudah turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan untuk mengambil kayu dan menggembalakan ternaknya. Mereka tidak boleh dipidana. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 50 ayat 3 huruf e UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, mereka bisa dikenakan sanksi pidana.

Sekarang kita berandai-andai. Misalnya, makna zina tersebut dimaknai seperti yang dimintakan oleh pemohon, lalu apakah persoalan akan selesai di situ? Menurut saya tidak. Justru hal demikian akan berpotensi mengkriminalisasi banyak pasangan yang perkawinannya belum dianggap sah oleh negara. Sebagai contoh, terhadap para pasangan dari kelompok penghayat kepercayaan yang sampai saat ini masih banyak perkawinannya yang belum diakui sebagai perkawinan yang sah. 

Begitu juga dalam hal perkawinan siri, atau poligami, yang belum dicatatkan secara resmi. Menurut agama dan keyakinannya, pernikahan ini sah di hadapan Tuhan. Tapi, karena tidak atau belum dicatatkan, pasangan ini melanggar UU Pernikahan dan KUHP. Karena itu apabila MK mengabulkan permohonan pemohon, maka di mata negara, pasangan ini juga dianggap telah melakukan perzinahan dan harus dilakukan pemidanaan. 

Kasus pernikahan yang belum dicatatkan seperti ini jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan hasil penelitian sebuah konsorsium yang terdiri dari peneliti-peneliti sosial di Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan, Puskapa UI, PEKKA, dan Lembaga Penelitian Semeru bekerja sama dengan Bappenas, Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama yang diterbitkan pada 2014 diketahui bahwa ada sekitar 2 juta pasangan yang berada dalam perkawinan tanpa memiliki akta nikah atau buku nikah. Mayoritas mereka dari keluarga miskin.

Hal lain lagi yang harus dipertimbangkan adalah adanya potensi kriminalisasi terhadap korban perkosaan atau pencabulan. Dalam hal, misalnya, pengakuan pelaku yang menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan suka sama suka, yang pelakunya masih usia sekolah. Apakah kita akan mengantar mereka semua ke penjara? Padahal mereka masih butuh untuk melanjutkan sekolahnya. Siapkah kita menghadapi hal-hal seperti ini? Seberapa banyak bangunan penjara yang harus disiapkan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuktikan bahwa persoalan ini tidak sepele. Ini adalah persoalan rumit yang harus diselesaikan oleh pembentuk UU. Sebab perlu dilakukan penyelarasan atas berbagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut. Itu tentunya akan sangat sulit jika dilakukan oleh lembaga peradilan seperti MK. Mengapa? Sebab, lembaga peradilan bersifat pasif. Ia tidak dibenarkan mencari-cari perkara, atau menyuruh-nyuruh orang untuk berperkara. 

Oleh karenanya, sudah seharusnya kita menyudahi menyalahkan putusan MK. Tidak ada yang salah dengan putusan itu. Bahkan sebagaimana press release yang disampaikan oleh MK beberapa waktu yang lalu, seluruh Hakim Konstitusi mempunyai concern yang sama terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon. Hanya saja lima orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya. Sehingga hal itu sesungguhnya telah memasuki wilayah “criminal policy” yang kewenangannya ada pada pembentuk UU (DPR dan Presiden). 

Lebih lanjut dikatakan bahwa MK juga concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan oleh pemohon dalam putusan itu. MK juga sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan tersebut. Dan, yang tidak kalah penting dari itu semua, tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan MK yang menyebut istilah , apalagi dikatakan melegalkannya. MK lagi-lagi hanya menyatakan sebaiknya persoalan tersebut dibawa ke pembentuk UU. Bukan melalui ketok palu hakim. 

DAN AGAMA

Nabi Luth (Islam) atau Lot (Kristen) adalah Nabi dan Rasul ke-7 setelah Nabi Ibrahim AS.  Di kalangan masyarakat Muslim, ia termasuk di antara 25 Nabi dan Rasul yang wajib diimani. Mengimani kehadirannya dalam menata tata nilai kehidupan manusia di bumi, termasuk dalam rukun Iman. Secara eskatologis, mereka yang percaya atasnya, pasti mendapat pahala.

Dalam beberapa catatan sejarah, Luth adalah adik misan Nabi Ibrahim. Nabi yang keenam, jika menggunakan urutan Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih dan Ibrahim. Ia juga dikenal sebagai peletak agama tauhid (monotheisme) yang mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa dengan karakter Metafisik. Tuhan tidak simbolik dan tidak mungkin disimbolisasi.

Dalam periwayatan dimaksud, Luth adalah anak Ajar. Seorang ahli seni pahat yang dikenal ahli dalam memahat patung (Dewa). Ibrahim sendiri dibesarkan dalam kultur keluarga besar Ajar, bapak Luth sekaligus Paman Ibrahim. Kakak beradik (misan) inilah, keduanya kemudian menjadi Nabi dan Rasul. Keduanya, memiliki tugas menyampaikan pesan moral keagamaan kepada masyarakat yang berbeda. Ibrahim dikenal berdakwah di Mekkah dan Palestina. Warisannya adalah Kakbah (Mekkah) dan Masjid al Aqsa (Palestina).

Berbeda dengan Ibrahim, Luth, dikisahkan menyebarkan agama Tuhan di daerah Sodom. Masyarakat yang dikenal rendah moral dan cenderung rusak akhlaknya. Di sinilah agama tidak kenal dan belum ada yang memperkenalkannya. Mereka tidak memiliki pegangan hidup (tentu sebelum Luth), sehingga kehidupannya menjadi kacau. Sebelum kedatangan Luth, masyarakat ini dianggap tidak memiliki pegangan agama, sehingga tidak mampu membentuk sistem kemanusiaan yang baik.

Dampaknya, pencurian, perampokan dan perampasan harta benda, menjadi kegiatan rutin. Hukum menjadi rimba. Yang kuat dialah yang berkuasa. Akibatnya, yang lemah selalu menjadi korban penindasan dan perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan mereka yang kuat. Lebih parah dari itu, mereka  memiliki dalam penyimpangan seksual.

Penyimpangan dimaksud, terlihat misalnya dari kebanyakan kaum laki-laki yang justru tertarik pada sesama jenis, yakni laki-laki juga. Tidak berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan juga sama.  Mereka lebih memilih kaum perempuan, dibandingkan dengan kaum laki-laki. Periwayatan soal ini, setidaknya dapat dibaca dalam firman Allah, Surat Asy Syura (165-166) yang artinya sebagai berikut: 

Mengapa kamu mendatangi (berzina) dengan jenis lelaki di antara manusia. Sementara itu, isteri-isteri yang berikan Tuhan untukmu, kau tinggalkan. Kamu bahkan termasuk orang-orang yang melampaui batas.

Selaras dengan patokan agama Islam dan agama-agama lain yang menggariskan sebagai perkara terlaknat yang mesti dihindari, begitupun dengan sudut pandang kedokteran, dalam hal ini adalah dokter kejiwaan dan para psikolog. Sejak lama, atau bahkan sejak awal, orang yang punya kecenderungan seksual kepada sesama jenisnya; laki-laki suka pada laki-laki atau perempuan suka pada perempuan, serta orang yang tidak nyaman dengan kelamin fitrahnya; laki-laki ingin mengubah diri menjadi perempuan atau sebaliknya, semua itu dikategorikan sebagai masalah kejiwaan dan gangguan jiwa.

Artinya, pelaku dalam pandangan para psikiater atau psikolog adalah pasien-pasien yang harus disembuhkan, karena mereka sedang mengalami masalah kejiwaan yang kronis. Seperti halnya orang gila, stres berat, depresi, dan semacamnya. Pengidap penyakit juga mesti diterapi untuk disembuhkan. Dengan tahapan-tahapan tertentu agar mereka kembali normal dan hidup sesuai dengan fitrahnya.

Maka tatkala datang azab Kami (Allah), Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan). Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,” Surat Hud [11]: 82 . (*)