Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengakui bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Keputusan kontroversial ini ditentang banyak negara-negara dunia. Negara Uni Eropa, Arab bahkan protes juga datang dari sebagian besar negara di dunia.
Sekutu AS di Uni Eropa, Prancis menolak keputusan unilateral tersebut dan menyerukan perdamaian. Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengatakan, status Yerusalem telah menjadi perhatian besar masyarakat dunia. “Status Yerusalem menjadi jaminan keamanan internasional sehingga seluruh komunitas internasional sangat memperhatikannya,” kata dia.
Inggris dan Jerman pun protes dan menilai Yerusalem harus menjadi bagian dari Palestina juga. Status Yerusalem harus ditentukan berdasarkan solusi dua negara. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan, tidak ada alternatif lain untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina selain solusi dua negara. Status final Yerusalem pun hanya bisa ditentukan melalui kesepakatan langsung. “Saya secara konsisten menolak segala keputusan unilateral yang memperburuk proses perdamaian Israel-Palestina,”kata Guterres.
Protes yang sama juga datang dari mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad. Bahkan melalui laman facebook dan twitternya, pria yang sukses membawa Malaysia mengalami modernisasi dan kemakmuran yang pesat ini memanjatkan doa yang cukup mengharukan.
“Ya Allah ya tuhan kami, dengarlah rintihan kami. Satukanlah hati kami. Selamatkanlah bumi Palestin dari tangan-tangan yang merosakkannya. “Ini bukan sahaja isu islam tetapi isu kemanusiaan. An attack against Palestine is an attack against all of humanity. Kepada-Mu kami berserah,” katanya.
Sementara itu, dalam satu video klip yang disiarkan baru-baru ini, Mahathir berkata tindakan Trump telah membakar hati semua umat Islam dan akan menyebabkan lebih banyak keganasan terjadi di seluruh dunia. “Tindakan ini akan membakar hati ramai orang Islam, dan saya percaya hasilnya lebih banyak keganasan berlaku di seluruh dunia,” tegasnya.
KEKELIRUAN “TRUMP DECLARATION”
Ada dialog klasik yang diawali dengan pertanyaan “Sebesar apa sih nilai Quds (Yerusalem)?” Lalu muncul jawaban “Quds tak berarti apa-apa, namun Quds adalah segalanya”.
Quds atau Yerusalem sepanjang sejarahnya adalah catatan pertumpahan darah. Tak pernah terjadi penguasa Yerusalem menyerahkan Yerusalam secara sukarela kepada siapapun. Kecuali hanya dalam satu momen sejarah ketika penguasa Yerusalem (Patriach Sophronius) menyerahkan kunci kota langsung kepada Umar bin Khattab pada tahun 637 M. Fakta ini seakan memberi pesan bahwa, Yerusalem lebih sering dikuasai dengan merebutnya. Bukan dihadiahkan.
Keputusan Trump (yang mungkin kelak dicatat sebagai “Trump Declaration”) pada 06 Desember 2017, hanya berselisih beberapa hari dari tanggal “Balfour Declaration” buatan Inggris pada 02 November 1917, yang berisi hak bagi Yahudi untuk mendirikan Negara Israel. Dan 30 tahun kemudian, tepatnya tahun 1947, Negara Israel lahir. Tambah ironis, karena Inggris bersama Perancis justru menjadi negara pertama yang secara terbuka menolak “Trump Declaration”.
Secara alami, kontur tanah Yerusalem memang tak memiliki keistimewaan spesifik dari segi lokasi maupun tingkat kesuburannya. Quds hanya sebuah bukit yang awalnya adalah tanah tandus tak menarik ketika dibuka pertama kali dan diolah oleh Nabi Ibrahim sekitar 2.200 tahun sebelum masehi. Tapi secara spiritual, Yerusalem adalah segalanya bagi penganut tiga agama Samawi yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.
Ketika salah satu penganut tiga agama itu menguasai Yerusalem, konflik pun terjadi. Dan itu sekali lagi terjadi sepanjang sejarah Yerusalem. Artinya, Yerusalem adalah kota suci yang “ditakdirkan” menjadi ajang konflik tanpa jeda.
Tentu bagi Israel dan warga Yahudi saat ini dan di manapun, “Trump Declaration” akan dicatat sebagai sebuah loncatan strategis dalam kronologi sejarah Yahudi. Namun “Trump Declaration” tak beda jauh dengan “Balfour Declaration (1917)” atau bahkan dengan pembentukan Gerakan Zionis oleh Theodor Hertzel (1860).
Dan ada fakta kasat mata bahwa “Trump Declaration” adalah pentas kedigdayaan. Sebaliknya, protes Palestina, negara di jazirah Arab, dan umat Islam adalah pentas ketidak berdayaan. Tapi toh dunia belum kiamat. Perlawanan itu tak akan padam dan terlalu kuat untuk dipadamkan oleh sebuah deklarasi.
Ratusan, ribuan, jutaan bahkan miliaran warga di dunia akan berteriak lantang “Wahai Presiden AS, kami tidak butuh petarung karena kami memiliki banyak petarung. Kami pun tidak terlalu memerlukan dana, karena kami punya cukup uang. Yang kami perlukan adalah komitmen dan dukungan kebijakan politik”. Jika ada sisi positif dari “Trump Declaration”, maka sebenarnya dia telah sukses menegakkan kesadaran yang selama bertahun-tahun tidur nyenyak, tak peduli.
“Wa makaru wa makarallah, wallahul khairul makirin” (orang-orang kuffar itu membuat makar, dan Allah pun membuat makar untuk mereka, dan Allah adalah sebaik-baik pembalas makar) – Al Imran: 54. (*)