Thursday, 25 April 2024
HomeKabupaten BogorMasa Depan Nasib Guru Honor

Masa Depan Nasib Guru Honor

Oleh: Hj. , SH, MH

(Calon Bupati Bogor 2018)

Pagi itu langit terlihat cerah merona. Para murid bersemangat berangkat ke sekolah tanpa harus mengenakan payung atau jas hujan yang sudah lusuh milik orangtuanya. Anak-anak seperti biasa sebelum pelajaran dimulai, kain pel, ember dan sapu sudah ada di tangan. Mereka siap untuk membersihkan selasar lorong kelas yang penuh dengan bekas lumpur.

Jika hujan turun, maka lantai keramik yang putih akan berwarna kecoklatan. Maka tugas siswa adalah membersihkannya. Di sekolah ini setiap pagi ataupun selepas jam belajar-mengajar, kegiatan membersihkan halaman sekolah menjadi kegiatan rutin. Pemandangan sekolah seperti ini masih banyak sekali  berada di Kabupaten Bogor. Tak kalah menariknya, juga mengisah perjuangan para guru honorer di Kabupaten Bogor. Sudah banyak yang saya dengar tentang keluh kesah mereka menjalani profesi yang mulia ini.

Tiga pekan lalu, pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyoal pengangkatan guru honorer menjadi PNS menjadi “angin segar lagi”. Para guru honorer di Kabupaten Bogor dan di seluruh Indonesia pun menyambutnya dengan suka cita. Wapres melontarkan janjinya itu saat memberi pengarahan di ajang Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2018 di Pusdiklat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada Rabu 7 Februari 2018.

Menurut JK pernyataannya itu bukan lagi janji. Bahkan, JK mengaku sudah bicara dengan Presiden Jokowi tentang rencana pengangkatan guru honorer ini. Sekarang, Indonesia memang sedang mengalami kekurangan guru. Selama beberapa tahun terakhir jumlah guru yang pensiun lebih banyak ketimbang jumlah guru yang di angkat. Atas dasar inilah, pemerintah sepakat untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS.

Pemerintah memang memiliki “tunggakan” pekerjaan yang sekian lama tidak terselesaikan untuk segera memberi kepastian status pada guru honorer. Nasib guru honorer yang ”menggantung” sebenarnya berimplikasi pada banyak hal terkait dengan proses belajar mengajar dan interaksi guru dengan siswa.

Jumlah guru honorer di Indonesia menurut catatan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih dari satu  juta orang pada akhir 2017. Guru honorer sebanyak itu termasuk 252.000 guru berusia di bawah 33 tahun yang telah berijazah sarjana sehingga memenuhi kriteria untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri. Sementara di Kabupaten Bogor, jumlah honorer K2 yang diajukan BKPP untuk mengikuti seleksi CPNS 2018 ini sebanyak 9.000 guru.

Saya berharap, pemerintah tidak boleh lagi membiarkan masa depan ratusan ribu guru honorer di seluruh Indonesia terkatung-katung. Sebuah kebijakan yang tegas dan jelas dibutuhkan untuk segera mengakhiri polemik mengenai diangkat-tidaknya sekitar 250 ribu guru honorer menjadi pegawai negeri sipil. Sudah terlalu lama isu ini digoreng sebagai komoditas politik untuk kepentingan elektoral semata.

Jika ketidakjelasan nasib guru honorer ini tak diakhiri, praktik percaloan dengan iming-iming jalan pintas menjadi pegawai negeri akan terus marak. Selama masa depan mereka penuh dengan ketidakpastian, para guru ini pun tak bisa bekerja dengan sepenuh hati. Mereka tak akan kuasa mencurahkan waktu, perhatian, dan ikhtiar total mereka untuk keberhasilan pendidikan siswa-siswanya. Ini tentu merupakan kerugian besar untuk kita semua.

Kalau kita merunut ke pangkalnya, silang sengkarut nasib guru honorer ini berawal dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di awal masa pemerintahannya pada 2004, SBY berjanji akan mengangkat semua guru honorer menjadi pegawai negeri sipil.  Kita tahu janji itu tak kunjung ditunaikan sampai kepala pemerintahan berganti ke tangan Presiden Jokowi. Tiga pekan lalu, Wapres JK berjanji bakal menyelesaikan utang pemerintahan SBY itu.

Namun, janji SBY maupun JK ini akan sulit terwujud karena ada klausul dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang mengganjal.  Dalam undang-undang ini mensyaratkan bahwa guru hanya bisa diangkat jika usianya di bawah 35 tahun. Selama regulasi itu tidak direvisi, mustahil semua guru honorer bakal diangkat menjadi pegawai negeri. Lebih masalah lagi, pembahasan revisi peraturan ini macet sejak akhir tahun lalu.

Oleh sebab itu, memulai kembali proses revisi atas UU Aparatur Sipil Negara di DPR merupakan langkah pertama untuk bisa memastikan nasib para guru honorer ini. Batasan usia itu memang membatasi manuver pemerintah untuk mencari solusi atas masalah ini.

Kendati demikian, penting juga disadari, mengangkat ratusan ribu guru honorer dalam waktu bersamaan tentunya akan menjadi beban tersendiri buat anggaran negara. Kompetensi, kualifikasi akademik, dan sertifikasi mereka haruslah memenuhi persyaratan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menyusun aturan seleksi yang benar.

Ini agar hanya mereka yang mampu menjalankan tugas sebagai guru yang baik yang bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil.  Sementara mereka yang tidak kompeten, mau tak mau, harus diberi tahu agar tidak terus-menerus berharap. Kejelasan semacam itu jauh lebih baik ketimbang membiarkan nasib mereka terkatung-katung.

Faktor yang juga penting dipertimbangkan adalah masa kerja. Semakin panjang masa kerja guru honorer, seharusnya semakin besar peluangnya untuk diangkat menjadi pegawai negeri. Dengan begitu, negara menghargai pengabdian dan pengorbanan yang sudah mereka berikan selama ini.

Sementara kewajiban para politisi (termasuk pula saya) adalah memenuhi janji yang sudah dilontarkan kepada konstituen. Janji itu pun tetap tidak boleh mengorbankan prinsip rasionalitas dalam tata kehidupan bernegara.

Oleh karena itu, memulai kembali proses revisi atas UU Aparatur Sipil Negara di DPR merupakan langkah pertama yang wajib untuk bisa memastikan nasib para guru honorer ini. Dan saya pun akan memperjuangkannya melalui Fraksi PPP di DPR-RI. (*)