Hidup pas-pasan. Makan seadanya. Bahkan menahan lapar adalah keseharian saya dulu. Mau sekolah sepatu bolong. Kaos kaki bolong. Malu tidak ikut darmawisata karena tidak punya uang.
Walau demikian, saya tidak mengalami penyakit maag walau 24 jam tidak makan. Karena saya memang ditempa dengan keadaan sulit ketika masih masa pertumbuhan SD sampai dengan SMP.
Ayah saya penarik becak di Jakarta dan terakhir karirnya adalah sopir bajaj (sopir bajaj karir?). Hidup di atas pekuburan, melihat dan mengalami dampak kemiskinan secara langsung: kriminalitas, prostitusi, penyakit akibat sanitasi buruk, gantung diri karena putus asa dan lain sebagainya adalah realita di depan mata saya.
Soal amanat penderitaan rakyat, saya tidak membaca dari buku. Mencium bau keringat orang miskin bukan karena saya ingin mendapat pengalaman empiris. Sebab bau keringat itu sesungguhnya adalah bau keringat ayah, ibu, saya, saudara-saudara saya yang tinggal di atas kuburan di Mangga Dua Jakarta.
Disiplin baja orang tua mendidik kami anak-anaknya, pendidikan budi pekerti dan teladan moral yang dibangun oleh kedua orangtua yang miskin harta telah menempa saya hingga saat ini.
Ajaib, saya bisa ketemu dengan para tukang becak (rakyat miskin kota) dalam posisi saya sebagai Calon Wakil Walikota Bogor berpasangan dengan Kang Dadang Iskandar Danubrata sebagai calon walikota.
Saya mendengar keluhan, harapan mereka bagaikan masuk ke dalam lorong waktu yang diputar mundur. Saya seperti melihat ayah saya sendiri.
Semoga saya mampu mewujudkan mimpi mereka akan sejahtera. Tuhan bimbinglah hamba.
Salam Rakyat Berdaulat
(Sugeng Teguh Santoso, SH)
#bogorbersama #bogoradil