Saturday, 23 November 2024
HomeBeritaFenomena Hoaks 

Fenomena Hoaks 

Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH

(Calon Bupati Bogor 2018)

Hoax, atau hoaks—kata ini begitu populer sebagai kosa kata politik beberapa tahun terakhir. Ini seiring munculnya berita-berita bohong yang mempengaruhi hasil Pemilu di berbagai belahan dunia. Kita diajak percaya bahwa hoaks (yang bahan dasarnya adalah kebohongan dan misrepresentasi atas fakta) merupakan fenomena jahat yang sebaiknya disingkirkan dari kehidupan sosial dan proses-proses politik.

Berdasar data Badan Intelijen Negara (BIN), hampir 60 persen informasi yang beredar di dunia maya adalah hoaks. Ini sungguh memprihatinkan. Memang, dusta bukanlah barang yang baru. Manusia sudah kenal sejak dahulu. Namun berkat teknologi yang semakin canggih, kebohongan sungguh-sungguh jadi membuat ngeri.

Sudah banyak bukti bahayanya kabar palsu. Bahkan dahulu kala Rasulullah Muhammad SAW pernah juga menjadi korbannya. Dua Imam besar di bidang hadist yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim sampai-sampai membuat kitab khusus tentang bahayanya berita bohong. Nama kitabnya adalah Hadisul Ifki. Dalam kitab tersebut menceritakan peristiwa yang dialami oleh Sayidah Aisyah, istri Rasulullah SAW yang dituduh telah berbuat ‘serong’.

Sayidah Aisyah memulai dengan kronologi yang panjang. Kata beliau bahwa ketika perjalanan pulang dari peperangan Bani Mushtaliq, seperti biasanya beliau diangkut di atas tumpangan unta yang ada tutupnya (Haudaj). Ketika berhenti di suatu tempat, Sayidah Aisyah turun karena gelangnya terputus, beliau pun mencarinya. Sahabat yang lain mengira beliau ada di tandu unta tadi. Rombongan Rasulullah pun berangkat menuju Madinah dan Sayidah Aisyah tertinggal.

Sayidah Aisyah berdiri di tempat beliau tertinggal, mengharap rombongan tadi kembali menyusulnya. Namun dari arah belakang ada Sahabat Shafwan bin Muathal As-Sulami, yang memiliki kebiasaan berjalan di belakang pasukan Rasulullah untuk menyisir hal-hal yang tertinggal. Kali ini Shafwan menemukan Sayidah Aisyah tertinggal dari rombongan.

Karena saat itu belum turun ayat tentang hijab maka ia mengenali Sayidah Aisyah. Ia pun menyuruh Sayidah Aisyah naik ke untanya dan ia yang menuntun sampai Madinah. Sayidah Aisyah berkata: “Demi Allah, Shafwan tidak mengeluarkan sepatah katapun kepadaku dan tidak ku dengar apa-apa darinya selain ajakan untuk pulang ke Madinah.” (HR Muslim)

Begitu tiba di Madinah kejadian ini langsung heboh. Kabar tersiar kemana-mana. Penyebar pertama berita bohong adalah pemimpin kaum munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Suasana di Madinah pun tidak seperti biasanya. Sayidah Aisyah sampai sakit dan minta kepada Nabi agar segera mengabari ayahnya, Sayidina Abu Bakar. Wahyu dari Allah pun akhirnya turun dan menyatakan bahwa Aisyah suci dan tidak berbuat apa-apa dengan Shafwan.

Allah mengawali wahyu tentang kebohongan berita itu dengan dengan firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” (An-Nūr: 11)

Di akhir ayat ini Allah memberi ancaman kepada penyebar berita bohong:  “… Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

Tidak cukup sampai disana, Allah juga menegaskan kembali ancaman Azab bagi orang yang senang menyebarkan berita bohong:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (An-Nūr: 19)

Dalam berbagai catatan lain, hoaks juga dapat pula memicu perang yang menghancurkan suatu negara. Masih tercatat dalam ingatan kita, invasi Amerika Serikat yang meluluhlantakkan Irak pada 2003. Hal ini diawali dengan hoaks bahwa Saddam Husein memiliki senjata pemusnah massal.

Dalam perkembangan terbaru, hoaks juga telah membuat Kota Kandy, sebuah wilayah yang terletak di Sri Lanka, mengalami ketegangan dan kerusuhan selama berhari-hari. Pemerintah negeri itu, harus memberlakukan jam malam. Dua warga tewas dan sekolah-sekolah di wilayah itu ditutup.

Sumber kerusuhan dilaporkan berasal dari pesan berbau antimuslim yang diedarkan di jejaring sosial. Salah satunya berupa video yang dikirim seorang biksu Buddha garis keras yang menggelorakan aksi kekerasan terhadap umat Islam di negeri itu. Kerusuhan agama pecah di Sri Lanka gara-gara hoaks.

Indonesia tentu saja tidak terbebas dari hoaks. Hoaks yang peredarannya di media sosial tidak kalah masif dengan narkoba membuat ikatan-ikatan sosial kita menjadi kian renggang, bahkan cenderung retak. Akibat masifnya hoaks, kita sulit untuk menepis penilaian betapa bangsa ini telah terbelah dalam dua kelompok besar.

Gejala ini terlihat nyata pasca-Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Hoaks memang telah mendorong semangat saling mencaci, memaki, dan membenci. Jika gejala itu dibiarkan, niscaya negeri ini semakin berada dalam bahaya perpecahan dan konflik sosial.

Oleh karena itu, pemberantasan hoaks tidak bisa ditawar-tawar lagi. Proses hukum yang tegas dan adil harus diberlakukan kepada siapa pun dan dari kelompok mana pun yang terbukti memproduksi dan mengedarkan hoaks. Tanpa itu, kita hanya tinggal menunggu waktu datangnya konflik sosial dan huru-hara yang menghancurkan bangsa dan negara ini.

Jika Al-Quran memberikan vonis berat pada pelaku dan orang yang senang menyebarkan berita bohong (Hoaks), masihkah kita menjadi bagian dari mereka? Jangan sampai itu terjadi. (*)