Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Setiap 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Penetapan tanggal ini rupanya melalui proses panjang sejak lebih dari 100 tahun lalu. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial.
Di antara peristiwa terkait yakni perayaan ini memperingati kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya. Pada tahun ini pula kemenangan tampak dalam genggaman. Perdana menteri Asquith menjanjikan sebuah undang-undang yang memberikan hak pilih kepada perempuan.
Hari Perempuan Internasional kali pertama dirayakan sekitar tahun 1910-an dan 1920-an, tetapi kemudian menghilang. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional.
Wanita-wanita di Indonesia tak ketinggalan memperingati hari yang biasa disebut IWD ini. IWD di Indonesia dimulai pada tanggal 4 Maret 2017, (pertama kali diadakan). Saat itu, ribuan massa turun ke jalan untuk merayakan Women’s March. Mereka berjalan kaki dari Sarinah hingga Istana Negara sambil menyerukan orasi dan membawa poster yang berisi pesan untuk mendesak Negara memiliki hukum yang tegas menentang kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, mereka juga membawa pesan agar perempuan Indonesia berani menolak pelecehan seksual dalam bentuk apapun. Selain marching, celebrate this wonderful day dengan memberikan bunga dan hadiah kepada ibu, istri, atau pun rekan perempuan untuk berterima kasih atas peran mereka.
Pada tahun 2018 ini, International Women’s Day sudah dilakukan pada 3 Maret yang lalu, dengan acara jalan kaki yang disebut Women’s March. Pada saat yang sama, Gerakan IWD di Indonesia juga mengeluarkan sejumlah tuntutan perempuan Indonesia untuk peradaban yang setara. Ada 5 isu yang memang patut diperhatikan khususnya pada organisasi aliansi perempuan, yang meliputi:
1. Kasus pelanggaran HAM masa lalu, pemerintah masih belum mengambil sikap kepada perempuan-perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini masih menanti keadilan.
2. Pernikahan anak.
Pernikahan anak di Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja. Mengapa? Karena pemerintah masih melegalkan pernikahan anak yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dampak pernikahan anak sangat berbahaya bukan hanya bagi kesehatan tapi juga mental anak.
3. Keterwakilan perempuan.
Jumlah perempuan di kursi DPR RI baru sebesar 17.32%. Partai politik juga belum serius merekrut kadernya melalui meritokrasi.
4. Kekerasan terhadap PRT.
Menurut organisasi JALA PRT, hingga akhir 2017 sudah terdapat 103 kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
5. Pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Masih banyak masyarakat yang menyalahkan korban pelecehan seksual atas sikap mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka juga masih menganggap ini hal sepele.
Dengan demikian, jika pada 8 Maret ini kita merayakan International Women’s Day , maka pada April mendatang kita juga merayakan Hari Kartini dan pada bulan Desember merayakan Hari Ibu. Untuk tahun 2018, Hari Perempuan Internasional hadir dengan tema “Press for Progress”.
Tema ini diangkat agar wanita bisa terus bergerak dan berani untuk menggapai kesetaraan gender di segala bidang. Di dalam perjuangan ini, ada banyak hal yang harus dikerjakan bersama (laki-laki) sehingga perempuan bisa mendapat hak-hak kebutuhan kehidupan lebih tentram, makmur, dan berkeadilan.
Selamat Hari Perempuan Internasional (*)