Sudah beberapa kawan mengingatkan agar saya merespons Facebook (FB) dengan like, komen atau mengirim pesan di grup relawan pendukung. Ternyata benar saya jarang berinteraksi di media sosial. Sekali-sekali memang buat pesan FB dan berinteraksi di grup WA.
Medsos dengan berbagai wahananya FB, WA, instagram, twitter telah merajai komunikasi umat manusia. Setiap individu dipaksa terlibat intens dalam dunia medsos. Kalau tidak, maka akan ketinggalan peradaban (katanya).
Setiap orang dipaksa melotot layar gadget dan berkomunikasi dengan jari. Tidak ada lagi interaksi kehangatan antarpribadi, tatapan mata, ekpresi dalam berkomunikasi. Emoticon berusaha menggantikan. Tapi itu hanya simbol gambar. Ekpresi tertawa ngakak dengan desibel tinggi, nyaring, cempreng, jabat tangan, sentuhan tangan tidak ada lagi. Ketika kumpul dan berhadapan semua melotot ke gadget.
Kebudayaan baru telah hadir!
Sebagai seorang yang ditokohkan, saya harus bertemu dengan banyak pihak, mendengar keluhan, kritik, saran bahkan doa secara langsung dan verbal. Â Dalam pertemuan perlu ada ekpresi empati, kehangatan, tatapan mata, sentuhan di pundak, dan lain-lain.
Godaan memegang gadget muncul dan ingin main gadget. Akan tetapi adalah tidak etis dan tidak sopan merespons teman bicara sekedarnya dan kita sibuk dengan gadget. Apalagi yang sedang bicara adalah orang yang membutuhkan empati dalam dan minta solusi.
Tokoh masyarakat perlu menyadari kemiskinan itu bisa membawa akibat penyakit fisik, kematian, kriminalitas, prostitusi, kerentanan ideologi. Kemiskinan dan kebodohan hanya bisa diatasi dengan pelibatan total pemimpin yang berkarakter kuat.
Perilaku autis sosial (social autism) memang sedang melanda semua orang. Bahkan pemimpin politik muda. Puluhan grup WA harus dijawab sehingga tidak ada lagi komunikasi hangat dan manusiawi.
Bila perilaku ini menginternal secara permanen, maka ini akan berbahaya. Sebab tugas para pemimpin adalah menjawab masalah-masalah warga secara inten dan membutuhkan fokus. Tidak bisa disekedarkan. Kalau diabaikan tugas-tugas pemimpin dan dianggap bisa selesai dan bermain pencitraan melalui medsos, maka hanya akan memunculkan social autism leader.
Model pemimpin seperti ini ditandai dengan pembentukan citra kuat melalui kampanye medsos yang masif. Tidak memiliki daya tahan menghadapi tekanan dan pekerjaan-pekerjaan sulit yang membutuhkan pelibatan total. Tidak terlatih menghadapi masalah ruwet yang membutuhkan nyali besar. Akan lari dengan berbagai alasan melalui jawaban di media sosial.
Pada satu sisi anamoli masyarakat terjadi juga. Sebab masyarakat “terkooptasi” medsos, maka masyarakat akan mudah percaya berita hoax, pencitraan pemimpin di medsos (adagium gambar bercerita seribu makna dimainkan masif). Masyarakat menjadi tidak cerdas dalam menentukan pilihannya.
Rekam jejak yang seharusnya diketahui dan dapat diakses juga melalui mesin pencari google terlupakan karena pencitraan sesaat.
Mari menjadi warga yang cerdas…
Salam,
Sugeng Teguh Santoso, SH
Calon Wakil Walikota Bogor