Thursday, 28 March 2024
HomeBeritaCerita Rizal Ramli Sepekan di Amerika dengan Tokoh Penting

Cerita Rizal Ramli Sepekan di Amerika dengan Tokoh Penting

BOGOR DAILY-INI rahasia umum. Penentuan pemenang di tiap pemilihan presiden yang berlangsung di Indonesia bukan cuma urusan domestik masyarakat RI. Mau tak mau, mengingat posisi strategisnya dari banyak sudut kepentingan, Pilpres di Indonesia selalu bersentuhan dengan urusan banyak aktor internasional.

Konteks inilah yang mewarnai kehadiran kandidat calon presiden Indonesia, , selama seminggu di Amerika Serikat pada awal bulan ini. Rizal diundang oleh lembaga-lembaga think tank Paman Sam.  Selama sepekan, Rizal yang kerap diminta menyampaikan pandangan dalam forum-forum dunia, diberitakan bertemu dengan banyak tokoh penting Amerika Serikat di Washington DC dan New York.

Rizal juga diminta berbicara dalam forum yang diadakan The Heritage Foundation. Undangan serupa ia terima dari Center for Navy Analyses (CNA). Heritage Foundation adalah lembaga think thank yang sangat berpengaruh di lingkungan Partai Konsevatif di AS. Heritage sudah mengundang banyak sekali pemimpin politik berpengaruh di dalam dan luar negeri AS, termasuk anggota parlemen, kepala negara asing, dan Presiden AS sendiri. Lembaga itu mendapat reputasi sebagai salah satu lembaga think tank yang paling berpengaruh di dunia.

Sementara Center for Navy Analyses (CNA) dikenal sebagai lembaga tempat wadah pemikir Angkatan Laut Amerika. Pemikir-pemikir CNA meminta Rizal memaparkan pandangannya seputar masalah maritim, pergeseran geo-strategis di Asia dan implikasinya terhadap hubungan Indonesia-Amerika.

Rizal juga menghadiri sebuah makan malam ekslusif di Navy & Army Country Club di Arlington.  “Respons terhadap worldview yang saya sampaikan mengenai posisi Indonesia dalam peta global sangat positif. Policymakers Amerika semakin memahami peranan strategis Indonesia untuk mendorong stabilitas di kawasan Asia Tenggara dan mendorong perkembangan Asia yang netral dan damai,” ujar dalam keterangannya.

Di dalam negeri, fakta bahwa diundang untuk berpidato di The Heritage, CNA dan beberapa kelompok lain di New York dan Washington DC dianggap sebagai sinyal yang cukup kuat dalam konteks pencalonannya sebagai presiden Indonesia 2019-2024.

Mantan penasihat ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa itu berkali-kali menegaskan visi tentang peranan Indonesia di dunia internasional. Visi ini pula yang selalu ia tekankan ketika berbicara dalam forum-forum pemikir kaliber dunia. Kemarin, Rizal membocorkan sedikit apa yang menjadi materi diskusi antara dirinya dengan lembaga-lembaga think tank AS.

“Saya baru pulang dari AS diundang oleh think tank Partai Republik. Kesan umum Indonesia sudah sangat pro Beijing,” ungkapnya kepada wartawan, kemarin, di kawasan Taman Mini Jakarta.

Rizal menegaskan lagi bahwa prinsip politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, yang sejak dulu kala dirancang oleh pendiri-pendiri bangsa. Karena itulah ia memegang komitmen mengembalikan politik luar negeri Indonesia tepat di tengah, tidak condong ke blok barat atau blok timur. Hal yang akan lebih mudah ia kerjakan bila kekuasaan jabatan presiden ada di genggamannya.

“Indonesia bukan antek Beijing, juga bukan antek AS. Indonesia tepat di tengah yang menjaga perdamaian dunia,” tegas Rizal.

Ucapannya itu bukan gertak sambal. Kala masih menjabat Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal punya andil besar dalam penggantian nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.

Kebijakan itu adalah sinyal yang cukup tegas kepada negara-negara di kawasan bahwa Indonesia berusaha keras menciptakan kepastian hukum internasional dan menjaga perdamaian di kawasan.

Nah, sinyal yang sama kuatnya datang dari Amerika ketika pemerintahan Joko Widodo terlalu condong ke Beijing. Walau bukan juga tokoh yang menunduk-nunduk ke AS dan Barat, lebih dipercaya untuk meluruskan politik luar negeri RI yang terlalu miring ke China.

Kredibilitas terhadap Rizal sangat mungkin dipicu faktor latar belakang sipilnya dan jaringan kemitraan yang luas dengan para tokoh politik dan ekonom internasional.  Faktor terakhir itu menjadi catatan tambahan, di tengah fakta bahwa dua kandidat capres berlatar militer yang cukup populer memiliki cacat reputasi di mata Barat.