BOGORDAILY – 2019 merupakan tahun yang berat bagi perekonomian domestik maupun global. Sejak awal tahun, ekonomi global terus dibayang-bayangi ketidakpastian akibat trade war atau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang terus berlanjut.
Perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia tersebut berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global. Sebab menurunkan volume perdagangan dunia, yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Perkembangan ekonomi dunia sejauh ini kurang mendukung terhadap perkembangan ekonomi nasional. Lembaga-lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 akan lebih rendah dibandingkan 2018. International Monetary Fund (IMF) misalnya, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 sebanyak 0,3 persen dari 3,3 persen menjadi hanya 3 persen saja di tahun ini.
Selain itu, prospek ekonomi global ke depan yang penuh ketidakpastian membuat sektor keuangan menjadi bertanya-tanya dan menarik diri dari negara berkembang termasuk Indonesia.
Defisit Terparah Sepanjang Sejarah
Bagi Indonesia, perang dagang antara Amerika Serikat dan China berdampak negatif terhadap penurunan kinerja ekspor melalui penurunan harga-harga komoditas. Kondisi ini membuat neraca perdagangan menjadi defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mencapai USD 2,50 miliar pada April 2019 lalu. Ini dipicu oleh faktor defisit sektor migas sebesar USD 1,49 miliar, dan non-migas senilai 1,01 miliar.
Defisit neraca perdagangan tersebut merupakan yang terparah sepanjang sejarah, melampaui perolehan pada Juli 2013 lalu yang sebesar USD 2,33 miliar.
Defisit neraca perdagangan sempat membuat kondisi nilai tukar Rupiah tertekan. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah karena adanya tekanan di defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
“Sebagai negara, yang namanya CAD artinya kan pasti ada permintaan dolar. Defisit itu kan ekspor dikurangin impor barang dan jasa, jadi pasti ada kebutuhan untuk impor barang dan jasa. Apakah impor barang atau impor jasa. Jadi pasti itu yang kemudian menimbulkan permintaan terhadap valas yang selalu ada di dalam dalam negeri,” kata dia.
Selain itu, perang dagang antara AS dan China membuat beberapa perusahaan terpaksa merelokasi pabriknya. Semula ada di China, mereka memilih melakukan relokasi ke negara lain agar tidak terkena dampak pengenaan bea masuk yang tinggi.
Sayangnya, dalam relokasi tersebut Indonesia rupanya dianggap kurang menarik. Relokasi pabrik dari China sebagian besar terjadi di Vietnam.
Lembaga keuangan internasional Moody’s Investor Service mengungkapkan beberapa alasan mayoritas perusahaan merelokasi pabriknya dari China ke Vietnam.
Managing Director and Chief Credit Officer Michael Taylor mengungkapkan Vietnam dinilai memiliki produk ekspor yang mirip dengan China dan telah memiliki pabrik-pabrik untuk barang ekspor terutama untuk barang elektronik.
“Sedangkan tingkat kesamaan produk ekspor Indonesia dengan China lebih rendah. Vietnam juga telah memiliki pabrik sehingga perusahaan bisa meningkatkan produksinya,” kata dia.
Berdasarkan catatan Moody’s ada tiga negara yang memiliki tingkat persamaan produk dengan China yaitu Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Resesi Ekonomi Turut Terdampak Pada RI
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengakui saat ini ada penurunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal itu lantaran kondisi ekonomi global yang tengah bergejolak dan mau tidak mau berdampak pada ekonomi RI.
“Tahun ini dengan gejolak yang berjejer ini, saat ini Pertumbuhan kita 5,02 persen, turun. Nah. Turunnya ini salah satunya karena gejolak dunia. Gejolak dunia tersebut berimbas, ke pertumbuhan ekonomi dunia dan perdagangan di dunia,” kata dia.
Dampak dari gejolak ekonomi global tidak dapat dihindari dan berdampak ke semua negara termasuk Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir mengungkapkan meski ekonomi global mengalami perlambatan namun pemerintah optimis Indonesia tidak akan mengalami resesi. Resesi adalah suatu kondisi di mana terjadi pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Dia menjelaskan hal itu tercermin dari struktur neraca perdagangan yang pada bulan Oktober mengalami surplus meski tipis. Namun jika dilihat secara keseluruhan komposisi ekspor dan impor masih berimbang.
“Kalau dilihat komposisi ekspor impor masih berimbang dan konsumsi rumah tangga masih bisa dipertahankan,” kata dia.
Di tengah kondisi global seperti saat ini, meningkatkan ekspor menjadi salah satu keharusan jika ingin selamat dari jerat resesi. Namun hal itu sangat sulit dilakukan mengingat hampir semua negara tengah mengalami kesulitan. Namun Indonesia terbukti berhasil mengatasi hal itu.
Iskandar menjelaskan, pelemahan kinerja ekspor masih tertolong oleh impor yang penurunannya lebih tajam. Selain itu kinerja ekspor akan dibantu oleh konsumsi rumah tangga yang sampai saat ini berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Tercatat, kontribusinya sekitar 54 persen.
“Kita bisa mengantisipasi pelemahan ekonomi global dan menambah pertumbuhan ekonomi ketika perekenomian global menurun sulit ekspor, makanya kita berdayakan domestik kita. Barang yang mengalami pelemahan ekspor kita jual ke dalam,” ujarnya.
Salah satu contohnya adalah percepatan program B30 dimana nantinya akan menggunakan CPO dalam negeri sebagai campuran untuk bio diesel.
“Itu kan meningkatkan penghasilan petani. Petani sawit tadi harganya menjadi lebih tinggi berarti daya beli petaninta menjadi lebih tinggi. Ketika daya beli menjadi tinggi, konsumsi barang-barang yang dihasilkan industri dalam negeri jadi naik,” ujarnya.
Dampak Gejolak Ekonomi Global Lebih Rendah Dibanding Negara Tetangga
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kasan menyebutkan dampak yang terjadi dari kondisi ekonomi global terhadap Indonesia cukup rendah. Bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di kawasan ASEAN.
Hal ini, kata dia, berdasakan keterbukaan ekonomi atau trade openness Indonesia yang lebih rendah dibanding negara tetangga.
“Trade openness suatu negara di catatan yang ada. Kita adalah negara dengan trade openness relatif lebih rendah dibanding negara ASEAN yang lain,” kata dia.
Dia mengungkapkan, negara dengan trade openness tinggi diantaranya adalah Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia.
“Artinya, posisi ekspor impor terhadap PDB untuk Indonesia relatif lebi rendah dibandingkan dengan kondisi yang dialami oleh negara-negara ASEAN yang lain. Oleh karena itu, kerentanan ekonomi manakala resesi di global tentu juga akan lebih rendah,” dia menambahkan.
Negara-negara dengan trade openness tersebut akan mendapat dampak yang cukup tinggi juga jika terjadi resesi global.
Selain itu, belum masuknya Indonesia dalam rantai nilai global (global value chain), di satu sisi memberi keuntungan. Hal tersebut menjadi alasan kenapa perlambatan ekonomi global belum berdampak besar bagi perekonomian domestik.
Sebagai informasi, Global Value Chain (GVC) adalah mata rantai produk atau bisnis yang menghubungkan sebuah produk dari penghasil, pengolah, distributor, hingga konsumen akhir dalam skala global.
Jika satu negara masuk dalam rantai nilai global, maka perekonomiannya akan terpengaruh oleh ekonomi global. Perlambatan ekonomi global akan menghantam kinerja perekonomian negara tersebut.
Ekonomi RI Diklaim Baik-baik Saja
Ekonomi global yang saat ini tengah dipenuhi ketidakpastian berdampak pada negara berkembang. Di beberapa negara bahkan sudah terjadi resesi dan krisis.
Presiden RI, Joko Widodo atau Jokowi menyebutkan Indonesia mestinya bersyukur masih mampu mencapai angka pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
“Ini patut kita syukuri. Bahkan kalau dibandingkan negara G20 kita di ranking 3. Kalau tidak (disyukuri), kita kufur nikmat tidak mensyukuri pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tadi,” kata Jokowi.
Dia menjelaskan, Indonesia hanya tidak lebih baik dari China dan India saja. “Kita ini hanya di bawah China dan India. G20, China, India, Indonesia, kemudian keempat Amerika Serikat (AS), kita di atas Amerika,” ungkapnya.
“Kalau kita tidak bersyukur, kufur nikmat,” tegas Presiden Jokowi.
Indonesia Waspadai Gejolak Ekonomi Berlanjut Ke 2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai ketidakpastian ekonomi global yang berpeluang masih berlanjut pada 2020. Ada beberapa hal yang harus diwaspadai, salah satunya adalah hubungan perang dagang Amerika Serikat dan China yang belum menunjukkan keharmonisan.
Selain perang dagang China dan Amerika, Indonesia juga masih melihat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) walaupun sudah menurunkan suku bunga acuannya beberapa waktu terakhir.
“Respons policy seperti Federal yang menaikkan suku bunga (2018), sekarang turunkan. Kita belum tahu apakah mereka akan lakukan lagi atau itu keputusan sendiri pada saat penurunan kemarin. Ini akan sangat menentukan momentum dari pelemahan ekonomi dunia berlanjut atau membalik di 2020 ini,” jelasnya.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi dari empat perekonomian sistemik, yaitu Amerika Serikat (AS), China, Wilayah Eropa, dan Jepang diperkirakan akan melambat di 2020. Prospek pertumbuhan yang suram ini merupakan dampak dari meningkatnya hambatan perdagangan; peningkatan ketidakpastian perdagangan dan geopolitik global; faktor spesifik.
Dengan berbagai kondisi tersebut, Indonesia harus mampu mewaspadai dan juga mencari solusi untuk memitigasi seluruh kemungkinan yang akan terjadi ke depan. Salah satunya melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja 2020 yang kredibel.