BOGORDAILY – Wakil Presiden Indonesia era Presiden Joko Widodo Jilid I, Jusuf Kalla atau JK terkenal dengan kevokalannya menolak penghapusan Ujian Nasional (UN). Menurut Plt Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Totok Suprayitno JK memiliki pertimbangan sendiri mengapa menolak penghapusan UN.
Menurut dia, JK menginginkan anak-anak bekerja keras dalam belajar. JK berangkat dari asumsi bahwa tanpa UN anak-anak akan leha-leha dalam belajar.
“Maka persoalan bukan UN tidak UN, tapi membuat anak belajar lebih keras gitu ya dan disiplin belajar,” ucap Totok di Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, Kamis (19/12).
Totok juga sejalan dengan itu, menurut dia anak-anak meskipun harus belajar dalam kondisi menyenangkan, tapi mereka juga mesti diberikan tantangan.
“Karena kalau senang terus bosen loh, siapa yang pernah mengalami seneng terus bosen gitu,” gurau Totok.
“Tetap harus ada koridor challenge yang tepat untuk anak. Dan letaknya di mana challenge itu? Tak harus di akhir, tak harus UN tok,” jelas dia melanjutkan.
Bagi Totok pendidikan merupakan pejalan sepanjang hayat, oleh karenanya anak mesti diberikan sejumlah tantangan setiap saatnya. Bukan hanya menjelang dia lulus.
“Tantangan-tantangan yang membuat anak bekerja keras dan disiplin,” jelasnya.
Anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengungkapkan, seharusnya Ujian Nasional atau UN sudah dihapuskan 10 tahun lalu. Namun karena ada campur tangan Wapres Jusuf Kalla, kebijakan itu urung dieksekusi.
“Sebenarnya kita mau menghapuskan itu. Tapi namanya di dalam policy Pak kan ada pertimbangan politik. Ini saya terus terang ajalah di ruangan ini. Dulu yang mengawali kan Pak JK ya,” kata Hetifah saat diskusi di Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, Kamis (19/12).
Legislator dari Partai Golkar itu mengaku sulit untuk meloloskan kebijakan yang ditentang oleh JK tersebut. Mengingat saat itu posisi JK di Golkar sebagai Ketua Umum di partai berlambang beringin tersebut.
“Akhirnya kita kompromi gitu, komprominya oke UN tidak jadi satu-satunya penentu kelulusan, terus berapa persen dan lainnya,” ungkap anggota DPR dapil Kalimantan Timur itu.
Di samping itu, Hetifah juga menyebutkan suasana kebatinan publik kala itu belum sejalan sepemahaman mengenai UN. Apalagi tidak adanya basis data yang menunjukkan bahwa UN tidak memberdayakan anak.
“Maka bisa saja akhirnya kompromi politik. Jadi kebijakannya tuh begini Bu, mau A mau B komprominya A aksen. Terkadang aneh juga sih, tapi di dalam politik kita selalu ada namanya kontestasi policy,” jelas dia.
JK sebelumnya bercerita, sebelum adanya UN, dulu ada sistem pengujian bernama Ebtanas atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Pada sistem ini kelulusan siswa dikatakannya menggunakan rumus ‘dongkrak’.
“Sehingga hampir semua peserta didik diluluskan, akibatnya mutu pendidikan terus menurun, padahal Tuhan memberikan kemampuan otak sama dengan orang Amerika atau Jepang, yang beda hanya siapa yang belajar dengan baik dan siapa yang kurang belajar,” kata JK di Auditorium UNP, Padang, Kamis (5/12).
JK lalu melontarkan tanya, mengapa anak-anak Indonesia kurang belajar? Jawabannya karena sistem ‘dongkrak’ yang menggampangkan pelajar Indonesia dengan jaminan lulus.
“Para pejabat seperti bupati, wali kota juga menekan sekolah pada peran guru agar meluluskan murid-muridnya, akhirnya anak-anak merasa tak perlu belajar, toh pasti lulus juga,” kritik JK.
Dia melanjutkan, di tahun 2003, Kementerian Pendidikan akhirnya meluncurkan sistem ujian akhir nasional sebelum disempurnakan menjadi ujian nasional pada 2005 yang diharapkan menjadi basis standar mutu merata di seluruh Indonesia.
JK pun yakin dengan sistem Ujian Nasional bisa menguji kemampuan pengetahuan siswa yang sudah yang seharusnya.
“Kenapa harus ada standar nasional? Karena kalau tidak, kita punya standar berbeda dan itu berbahaya, mutu berbeda maka ada gap dan kesenjangan mutu pendidikan satu daerah ke daerah lain,” beber JK.
Munculnya Ujian Nasional diakui JK tak berjalan mulus. Tercatat pada awal penerapannya, 18 persen pelajar dinyatakan tidak lulus ujian. Namun dari tahun ke tahun seiring evaluasi banyak perubahan diciptakan lewat Ujian Nasional.
“Evaluasi bisa dilihat, dilihat perkembangannya, ini yang perlu menjadi catatan,” JK menandasi.