Saturday, 20 April 2024
HomeBeritaSetelah Revisi UU KPK Malah Semakin Lemah

Setelah Revisi UU KPK Malah Semakin Lemah

BOGORDAILY – Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menunggu perubahan status. Hadirnya Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019, mewajibkan mereka harus menyandang status Aparatur Sipil Negara (ASN). Para pegawai termasuk penyidik di dalamnya terancam tidak lagi bekerja secara independen.

Keadaan ini imbas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Selama 17 tahun mengabdi demi membasmi korupsi di Indonesia, kini para pegawai harus tunduk pada aturan baru. Tentu kondisi ini menimbulkan pro kontra. Para pegawai yang lama bekerja banyak menolak tentang aturan ini.

Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo, mengakui banyak pegawai KPK merasa keberatan ketika undang-undang hasil revisi disahkan DPR dan pemerintah. Setidaknya ada 12 orang menyatakan mengundurkan diri. Mereka dari berbagai posisi strategis. Sedangkan sisanya masih bertahan.

Setidaknya ada 1.500 karyawan bekerja di KPK. Tentu ini menjadi pergolakan batin di antara mereka. Yudi sudah meminta rekan sekantornya harus bertahan. KPK tetap bisa kuat bila para pegawai tetap bersatu.

“Saya minta sama temen-temen yang lain untuk stay. Kita tetap bersama-sama,” kata Yudi kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, dibutuhkan masa transisi selama 2 tahun dalam perubahan status pegawai KPK menjadi PNS. Dalam masa transisi tersebut, seluruh hak keuangan pegawai KPK tetap dibayarkan utuh, tanpa ada pengurangan apapun. Untuk urusan ini, dirinya sampai melakukan pertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

“Seluruh hak keuangan pegawai KPK tetap dibayarkan utuh tanpa ada pengurangan apapun. sambil menunggu ketentuan dan peraturan yang mengatur selanjutnya,” tegas dia.

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 pada Pasal 1 Ayat (3), menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini. Kemudian ketentuan pada Ayat (6) menyebut bahwa pegawai KPK adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.

Dengan menyandang status ASN, UU KPK hasil revisi tetap menegaskan pegawai bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Meski begitu, mereka harus tetap tunduk dengan segala aturan sebagai abdi negara.

Kebijakan ini tentu berdampak pada kekuatan KPK yang belakangan terlihat melembek. Apalagi dengan kejadian kasus suap terhadap Wahyu Setiawan, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPK sulit melakukan pengembangan dan penangkapan kepada para pihak diduga terlibat dalam suap dilakukan Harun Masiku, caleg PDIP dapil Sumatera Selatan I.

Akibat kasus itu, Yudi melihat justru banyak orang merundung KPK. Menjadi sasaran risak, seolah KPK tidak lagi punya marwah. “Kami sedih, ya tetapi kami tetap menjalankan pekerjaan,” ucap dia.

KPK Kena Bully

Serangan kepada wadah pegawai KPK bahkan sempat ramai ketika pembahasan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Sempat beredar isu bahwa internal mereka diisi Geng Penyidik Taliban. Kata ini dipakai untuk menyudutkan bahwa adanya kelompok Islam radikal di internal pegawai.

Padahal, kata Yudi, lembaga tempatnya bekerja ini menjunjung tinggi toleransi. Mereka bekerja bukan berdasarkan agama maupun suku. Banyak kegiatan keagamaan juga dirayakan di dalam KPK. Sederet acara kenegaraan juga diikuti. Bahkan saat upacara,semua pegawai hormat kepada bendera merah putih.

“Di sini tidak ada yang tidak ikut upacara bendera. Hormat semua sama bendera merah putih. Gedung kita merah putih, itu ada lambang Garuda Pancasila yang besa. Apalagi kami wadah pegawai KPK masuk dari program Indonesia Memanggil,” jelas dia.

Sebenarnya isu Geng Taliban sudah pudar. Menurut Yudi, itu seiring dengan telah diresmikan UU KPK hasil revisi. Tidak ada lagi serangan kepada wadah pegawai. Meski begitu, harus diakui masih ada upaya dari politisi untuk lakukan framing kepada dirinya.

Paling anyar dilakukan politikus PDIP Masinton Pasaribu. Anggota komisi III DPR itu mengaku dapat surat penyelidikan. Dia mengklaim mendapat dari seseorang bernama Novel Yudi Harahap.

Kabar ini tentu membuat Yudi gusar. Dia membantah secara tegas bahwa dirinya tidak pernah menyerahkan dokumen itu. Ini dirasa hanya upaya mengaburkan kasus suap Wahyu diduga menyeret nama Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto. Apalagi dari daftar nama pegawai tidak ada tercatat nama Novel Yudi Harahap.

“Nama saya memang ada Harahap. Tetapi ini seolah menggabungkan nama saya dan Bang Novel Baswedan (penyidik senior KPK).”

Penangkapan Wahyu pada Rabu, 8 Januari 2020 lalu, diduga ada keterlibatan Hasto selaku elit PDIP. Bahkan Saeful, staf Hasto, ikut diamankan KPK ketika operasi tangkap tangan dilakukan.

Harun sebagai petugas partai Megawati Soekarnoputri itu, mencoba peruntungannya untuk bisa masuk ke Senayan. Usahanya gagal saat suara diperolehnya hanya 5.878 suara. PDIP kemudian mengirimkan surat kepada KPU agar Harun Masiku menggantikan Nazarudin Kiemas, caleg yang meninggal sebelum proses pemungutan suara.

Permohonan itu ditolak KPU, yang justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazaruddin. Perolehan suara Riezky jauh lebih unggul dibanding Harun yakni 44.402 suara.

Dalam pengembangan kasus suap kepada Wahyu, tim satgas KPK sempat mencoba meringkus Harun dan Hasto. Posisi mereka dikabarkan berada di Gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan. Sayangnya sejumlah penyidik justru diamankan sejumlah personel Polri bahkan sampai diminta menjalani tes urine.

Terkait adanya pergantian penyidikan, Yudi menegaskan tidak bisa berkomentar tentang itu. Semua menjadi keputusan para pimpinan KPK. Dirinya lebih fokus mengajak para pegawai untuk tetap bersama-sama membuat KPK tetap kuat. Adapun tentang kabar pelemahan, dia enggan membahas.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memilih bungkam. Enggan menanggapi bahwa kondisi pelemahan KPK sedang kentara ketika mencuat kasus suap KPU dilakukan caleg PDIP.

Sedangkan Firli Bahuri hanya menegaskan seluruh aktivitas dilakukan lembaga yang dipimpinnya sudah sesuai peraturan perundang-undangan. “Semua aktivitas yang dilakukan oleh kami adalah sesuai peraturan perundang-undangan,” kata Firli.

Meski ketika sedang pengembangan kasus, pimpinan KPK tak kunjung mengajukan surat izin penggeledahan terhadap kantor DPP PDIP ke Dewan Pengawas (Dewas). Sebagaimana dalam Pasal 47 ayat 1 undang-undang nomor 19 tahun 2019 berbunyi Dalam proses penyidikan, penyidik dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewas KPK.

Pasal ini menunjukkan peran Dewas KPK pasif terhadap proses penindakan. Anggota Dewas Harjono mengakui kondisi tersebut. Bersama para anggota dewas lainnya, dia tidak bisa mengeluarkan izin bila para pimpinan KPK tidak melakukan permintaan resmi. “Izin keluar atas permintaan”, ucap singkat Harjono.

Senada dengan Harjono, anggota Dewas lainnya, Syamsuddin Haris mengatakan bahwa keberadaan Dewas sama sekali tidak berkaitan dengan perjalanan perkara. Kepada merdeka.com, Syamsuddin menerangkan tidak ada yang berubah terkait prosedur penanganan perkara di KPK, sekalipun dalam undang-undang baru.

“Pada dasarnya tidak ada mekanisme yang berubah kecuali tambahan prosedur perizinan,” kata Syamsuddin.

Selama bulan Januari ini, Firli lebih banyak melakukan kegiatan dan memperkenalkan tentang dirinya. Mulai dari hobi main tenis, hingga menjadi koki. Kegiatan ini bagi sebagian internal KPK tentu dirasa tidak biasa. Apalagi di tengah situasi bahwa KPK sedang diserang partai penguasa. “Saya senang memasak,” ujar Firli yang pernah menjabat Kapolda Sumatera Selatan itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here