BOGOR DAILY – Sebanyak tiga dari 11 kampung yang ada di Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, masih terisolasi di hari ke 25 pasca bencana banjir dan longsor yang terjadi pada Rabu (1/1/2020) lalu.
Ketiga kampung yang masih terisolasi itu diantaranya, Kampung Ciparempeng, Cijairin dan Ciear, dengan kondisi longsor dan banjir paling mengerikan dibandingkan lima desa yang juga terdampak diantaranya Desa Cisarua, Kiarasari, Urug, Harkatjaya serta Pasir Madang.
Menurut pengakuan warga sekitar Desa Cileuksa, akses menuju ke desa yang berbatasan dengan Kabupaten Lebak itu baru terbuka pada hari ke 15 pasca bencana awal tahun 2020.
Bahkan, akses yang baru terbuka itu hanya sampai kantor Desa Cileukaa saja, sedangkan ke delapan kampung lainnya baru bisa dibuka pada H 22 pasca bencana di luar dari tiga kampung yang sampai saat ini masih dalam terisolasi.
Hal itupun membuat wartawan Bogordaily.net tertantang untuk bisa menembus ke tiga kampung yang masih terisolasi tersebut yaitu Kampung Ciparempeng, Cijairin dan Ciear.
Akses yang masih tertutup oleh lelongsoran itupun memilih kami dan relawan untuk berjalan kaki menuju kampung yang terisolasi sampai saat ini.
Pada pukul 9:00 WIB hari Rabu (22/1/2020) kemarin, kami pun langsung memantapkan diri untuk berjalan dari posko Desa Cileuksa menuju tiga kampung terisolasi tersebut.
Dengan perlangkapan seadanya, terlihat beberapa akses jalan yang terputus akibat diterjang banjir dan longsor membuat perjalanan kami terhambatan, untuk menuju kampung pertama yaitu Ciparempeng. Hal itu membuat kami harus bersusah payah dengan cara satu satunya melakukan perjalanan membelah kawasan gunung halimun salak.
Jalan yang terjal dan licin itu tak gentarkan semangat kami semua untuk menuju lokasi pertama. Walaupun perjalanan sempat terhambat kembali akibat jembatan di aliran sungai yang menjadi salah satu jalan menuju tiga kampung terisolasi terputus diterjang luapan air dari Cijurai.
Dengan menggunakan jembatan dari bambu yang dibuat oleh para relawan, TNI dan masyarakat itupun, serta seling dari kabel PLN yang robohpun dimanfaatkan, dengan diikat ke pohon bambu untuk berpegangan bagi para pejalan kaki supaya bisa memanjat tebing dengan ketinggian kurang lebih 30 meter ke bawah sungai.
Setibanya di atas sebrang sungai yang merupakan pembatas antara Kampung Cileuksa Desa dan Ciparempeng, menghabiskan waktu perjalanan selama satu jam, dan itupun harus kembali melakukan perjalanan untuk mencapai Kampung Ciparempeng dengan waktu perjalanan kurang lebih dua jam
Untuk menuju lapangan Kampung Ciparempeng itupun tidak mudah, kami pun harus berjalan menanjak dengan jalan setapak yang dikeraskan oleh batu belahan dan pinggirannya longsor.
Setibanya di Kampung Ciparempeng kami pun beberapa kali mengelus dada, banyak pesawahan yang menjadi salah satu mata pencaharian mereka bertani tergerus oleh longsor serta puluhan rumah hancur.
Lebih mirisnya lagi, di lokasi posko pengungsian Kampung Ciparempeng itu tidak terlihat adanya anggota BPBD dan tenaga medis. Hanya ada dua orang prajurit dari Kodim 0612/Kabupaten Bogor saja setia menemani masyarakat.
Kedatangan kami dan relawan tenaga dokter dan perawat dari Surabaya dan Malang itu, membuat warga Kampung Ciparempeng dengan jumlah penghuni sebanyak 479 jiwa merasa sumringah.
Karena, selama mereka terisolasi sampai Hari ke 22 itu belum ada tenaga medis yang datang untuk memberikan bantuan obat-obatan.
“Alhamdulillah bisa berobat geratis, terimakasih banyak sudah membantu kami,” ucap salah satu warga Ciparempeng, Encih (49) kepada Bogordaily.net dilokasi.
Semua wargapun sangat antusias dan langsung melakukan pengobatan gratis serta mengekuhkan penyakit yang dideritanya pasca bencana longsor dan banjir itu.
Kami bersama rombongan dari relawan bisa sampai ke Kampung Ciparempeng menghabiskan waktu 3 jam. Untuk jarak tempuhnya sendiri kurang lebih 4 kilo meter.
Pantauan di lokasi, warga berbondong-bondong dengan relawan untuk bekerjasama mengambil sembako di posko Desa Cileuksa.
Dengan adanya Flaying Fox yang dibuat oleh para relawan pencinta alam dari berbagai kampus itu, setidaknya bisa meringankan masyarakat saat membawa sembako dengan cara disebrangkan menggunakan Flaying Fox. Karena untuk membawa logistik atau sembako saat melewati sungai Cijurai akan kesusahan. Apalagi harus berpegangan ke sil bekas kabel PLN dan jika tidak berpegangan maka ada kemungkinan bisa terjatuh ke sungai.
Mereka (warga Kampung Ciparempeng) menceritakan penderitaan ketika jelang langit mulai gelap, hal itu membuat semua warga Kampung Ciparempeng harus hidup dengan keadaan gelap akibat aliran listrik belum tersambung. Ketika terang pun hanya mengandalkan mesin deisel kapasitas penerangan juga sangat terbatas.
Sebanyak 479 warga Kampung Ciparempeng, mengungsi di rumah yang masih dikategorikan aman dari bahaya longsor dan banjir. Ada juga yang masih tinggal di rumah pribadinya masing-masing karena kerusakannya tidak parah.
Cuaca mendung pun membuat kami serta para relawan melakukan kesepakatan untuk berhenti sampai Kampung Ciparempeng saja, dikarenakan akses menuju dua kampung yaitu Cijairin dan Ciear sangat bahaya kondisi tanahnya masih dengan keadaan aktif bergerak.
Perjalanan menuju Kampung Cijairin dan Ciear dari Kampung Ciparempeng bisa menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan.
Untuk perlengkapan yang saat ini dibutuhkan warga Kampung Ciparempeng, Cijairin dan Ciear sendiri yaitu sembako, sanitasi air bersih, penerangan listrik, susu dan popok bayi, dan kebutuhan perempuan serta tenaga medis.
“Kita harap yang utama akses terlebih dahulu di buka, dan lebih diperbanyak sembako serta sanitasi air bersih, dan kami juga siap direlokasi,” ucap Imah (40) salah seorang warga Kampung Ciparempeng.
Setelah semua warga berobat, kami bersama relawan dan dokter pun memilih untuk kembali lagi ke posko Desa Cileuksa, karena kondisi hujan dikhawatirkan turun kembali.
Untuk diketahui, data masyarakat yang tinggal di tiga kampung masih terisolasi itu diantaranya, Kampung Ciparempeng ada sebanyak 479 jiwa, Cijairin sebanyak 143 jiwa dan Ciear sebanyak 78 jiwa. (Andi)