BOGORDAILY- Ekonomi dunia sedang tidak stabil. Karena itu sektor pertanian yang akan menjadi jantung pertahanan ekonomi di Indonesia.
Dosen Pertanian dari Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Harianto mendukung upaya Kementerian Pertanian (Kementan) dalam meningkatkan produksi pertanian melalui gerakan nasional peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian 2020.
Peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian hanya satu dari empat aspek utama yang dijalankan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dalam pembangunan pertanian 2020 untuk mewujudkan pertanian yang maju, mandiri dan modern.
Kedua, menurunkan biaya pertanian menuju pertanian berbiaya rendah melalui peningkatan efisiensi dan pengembangan kawasan berbasis korporasi.
Ketiga, pengembangan dan penerapan mekanisasi serta akselerasi pemanfaatan inovasi teknologi.
Keempat, ekspansi pertanian melalui perluasan pemanfaatan lahan termasuk lahan rawa dan sub optimal lainnya serta penyediaan air (irigasi, embung, dan bangunan air lainnya).
“Saya mendukung peningkatan ini karena kita harus mempertahankan pangan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim dan dinamika ekonomi global yang terjadi saat ini,” ujar Harianto dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa, (10/3/2020)
Menurut Harianto, langkah tersebut harus disikapi secara serius karena dampak perubahan iklim akan membuat banyak negara krisis serta merasa sulit untuk meningkatkan kualitas produksi pertanian.
“Di satu sisi, hal ini menjadi kesempatan bagus bagi Indonesia karena diuntungkan dengan garis demografis, dimana banyak penerus-penerus petani muda yang akan berdatangan,” katanya.
Menurut Harianto, bonus demografi tersebut akan menguntungkan Indonesia karena ada miliaran generasi baru tumbuh di seluruh dunia. Karena itu, perubahan ini harus disikapi secara serius dengan kesigapan memperkuat kebutuhan pangan nasional.
Sebagai informasi, intensitas musim kemarau tahun 2019 jauh lebih besar ketimbang musim kemarau di tahun 2018. Musim kemarau tahun lalu lebih banyak dipengaruhi aktivitas Indian Dipole Mode (IOD) dengan posisi positif hampir di sepanjang semester kedua tahun 2019.
Selain itu musim kemarau tahun 2019 juga banyak dipengaruhi oleh suhu muka laut di Indonesia bagian selatan yang secara umum lebih dingin dari biasanya.
“Indonesia harus meningkatkan kesiapan dalam menghadapi gejolak tersebut. Saya optimistis kita bisa setara bahkan bisa melewati Singapura untuk kesiagaan ini,” tutupnya. (cnbc)