BOGORDAILY – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengkritisi dan menolak rencana rapid test Covid-19 bagi anggota DPR RI dan keluarga. Dia menegaskan hal tersebut bukan hal yang mendesak.
“Alasan utama tentu saja karena rapid test khusus terhadap anggota DPR ini memperlihatkan sikap egoisme DPR yang mengistimewakan diri mereka di tengah kebutuhan mendesak penanganan Covid-19 yang harusnya mendahulukan warga masyarakat yang berstatus ODP dan PDP,” kata dia kepada wartawan, Jakarta, Selasa (24/3).
Selain masyarakat yang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP), rapid test Covid-19 juga harus diprioritaskan untuk mereka yang menunjukkan gejala klinis terpapar Covid-19.
“Mereka yang menunjukkan adanya gejala terpapar virus corona juga menjadi kelompok lain yang mestinya menjadi prioritas pengetesan dengan sarana rapid test,” tutur dia.
“Kalau DPR dan keluarga mereka mendatangkan alat rapid test tanpa gejala apapun yang mengarah ke dugaan tertular virus Corona, artinya mereka hanya mau memastikan diri saja. Kalau anggota DPR masih sehat-sehat saja, rasanya tidak urgen menyediakan fasilitas khusus bagi mereka untuk sekedar memuaskan rasa penasaran mereka saja,” ujar Lucius.
Lucius memandang, pemeriksaan menggunakan alat rapid test kepada anggota dan keluarga yang tak mempunyai gejala akan terlihat sebagai bentuk kesombongan DPR. Di hadapan begitu banyak warga masyarakat yang paling membutuhkan pengetesan itu, karena sudah mempunyai gejala dan juga punya sejarah bersentuhan dengan pasien positif Corona.
Rapid test khusus anggota DPR ini semakin tidak relevan karena hampir pasti proses pengetesan itu ditanggung oleh negara. Makin tidak relevan lagi karena bukan hanya anggota DPR yang menikmati fasilitas gratis itu tetapi anggota keluarga hingga staf-staf mereka.
“Ini kan namanya ‘aji mumpung’ banget. Padahal kita tahu, berdasarkan cerita banyak warga yang sudah mendatangi rumah sakit untuk melakukan pengecekan Corona, mereka yang datang sekedar ingin mengetahui kondisi tubuh tanpa gejala Corona ataupun yang terdiagnosa mengalami penyakit lain, mereka diharuskan untuk membayar jasa pelayanan medis yang jumlahnya cukup besar,” urai dia.
“Nah bagaimana bisa DPR yang mungkin saja sehat-sehat tetapi sekedar memastikan kondisi dirinya sehat, ia memeriksakan diri atas tanggungan negara pula,” imbuhnya.
Kebijakan test cepat khusus DPR dan keluarga, ujar Lucius, terasa jauh dari semangat solidaritas yang kini tengah tumbuh dalam masyarakat demi bersama-sama memastikan penyebaran virus ini segera berakhir. Juga semangat solidaritas agar para pekerja medis yang dibekali APD yang minim terus sehat agar bisa melayani warga yang sudah tertular.
Semangat solidaritas ini yang akan hilang dari perlakuan khusus DPR dalam kegiatan rapid test tersebut. “Padahal sebagai wakil rakyat, anggota DPR mestinya bisa menjadi teladan tentang solidaritas antar sesama. Kalau menyumbang materi mungkin anggota DPR tak rela, minimal kerelaan untuk berjuang bersama rakyat dalam membatasi laju penyebaran corona bisa dilakukan anggota DPR,” terang dia.
Karena itu, rencana tersebut tidak perlu dilanjutkan agar tak melukai batin rakyat. Lebih baik alat rapid test dan tenaga medis yang ada fokus untuk warga yang sudah bergejala terpapar virus corona.
“Jika ada satu dua anggota DPR yang mungkin bergejala, maka sebaiknya mengikuti Protokol yang dibuat pemerintah, yakni dengan mendatangi Rumah Sakit rujukan atau menghubungi call center BNPB demi proses pelayanan yang adil dari negara,” tandasnya.