Friday, 19 April 2024
HomeNasionalRamalan Saintis, Korona di Indonesia Berakhir di Bulan April, Jika....

Ramalan Saintis, Korona di Indonesia Berakhir di Bulan April, Jika….

BOGORDAILY – Kabar baik datang dari para ilmuwan. Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) merekomendasikan pembatasan sosial (social distancing) sebagai cara ampuh memutus penularan COVID-19 yang menjadi pandemi global termasuk di Indonesia.

Istilah social distancing sendiri sering dipakai di tengah wabah pneumonia jenis baru ini, selain lockdown, tentunya.

Rekomendasi muncul dari para peneliti yakni Nuning Nuraini, Kamal Khairudin, Mochamad Apri, lewat jurnal ilmiah mereka berjudul “Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika”. Penelitian dosen Program Studi Matematika ITB ini menyebut, jika pembatasan sosial serius dilakukan, pandemi COVID-19 di Indonesia bisa berakhir April 2020.

Belakangan penelitian ini diklarifikasi oleh penelitinya mengingat data yang dipakai simulasi menggunakan data lama. Penelitian dilakukan ketika Indonesia masih memiliki 96 kasus positif. Saat ini jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia sudah di atas 100.

Terlepas dari relevansi prediksi penelitian itu, peneliti merekomendasikan kebijakan yang perlu diambil, yaitu pembatasan sosial.

Kebijakan ini dinilai masih relevan dan akan menjadi salah satu kunci mengendalikan penularan virus korona baru.

Nuning Nuraini dan kawan-kawan menyatakan, social distancing perlu menjadi kebijakan mengingat sampai sekarang belum ditemukan vaksin COVID-19. Social distancing sebagai bentuk pencegahan dari meluasnya penyebaran virus.

Dengan adanya pembatasan sosial, Nuning berharap setiap masyarakat tidak akan menjadi penular maupun tertular karena tidak melakukan kontak dengan siapa pun sehingga laju penyebaran dapat menurun atau setidaknya terjaga konstan. Sebab cara terbaik untuk mencegah penyakit adalah menghindari penyebab penularan virus.

Virus ini diperkirakan menyebar terutama dari orang ke orang, antara lain melalui sentuhan dalam jarak kurang dari dua meter dan melalui droplet orang yang batuk atau bersin.

Tingginya tingkat penyebaran virus akan memberatkan rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang jumlahnya terbatas. Sehingga krusial menjaga laju penyebaran berbasis masyarakat lewat menjaga jarak sosial.

“Ada satu hal yang sangat sederhana yang bisa kita lakukan dan diharapkan berhasil untuk mencegah laju penyebaran yakni: jaga jarak sosial (social distancing),” kata Nuning, mengutip makalah ilmiahnya.

Social distancing dapat diartikan dengan menahan diri untuk menjauhi kerumunan dan membatasi keinginan untuk keluar rumah tanpa keperluan yang penting. Memindah pekerjaan, sistem pendidikan secara daring, membatalkan atau menunda rekreasi dan kegiatan-kegiatan yang bersifat massal mungkin tidak nyaman, menjengkelkan, dan mengecewakan. Selama social distancing berlaku, perlu dilakukan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Nuning mengambil contoh kebijakan yang diambil China dalam menghadapi pandemi pertama kali. Pejabat China mengatakan pembatasan perjalanan yang mereka lakukan telah mendorong epidemi sampai ke puncak di China. Hal ini dimaksudkan agar langkah selanjutnya akan membawa dampak penurunan kasus di negara tersebut.

Namun social distancing tidak cukup tanpa didukung informasi akurat tentang pola penularan dan sebaran COVID-19. Informasi penularan Covid-19 dapat membantu menentukan kebijakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit.

Informasi akurat juga penting untuk menangkal simpang siur terkait gambaran dan penanganan pandemic COVID-19 secara eksak di Indonesia. “Saya makanya cukup terkejut ketika tulisan saya ini viral dan ramai dibahas oleh netizen Indonesia. Gara-gara keresahan saya ini, publik jadi semakin tahu bahwa matematika juga bisa membantu dan mengambil peran dalam menghadapi kasus pandemi,“ ujar Nuning, saat menyampaikan klarifikasi di laman resmi ITB, Kamis (19/3/2020).

Kesimpulan dari penelitian Nuning dan kawan-kawan menyebut bahwa Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian COVID-19 pada akhir Maret 2020 dan berakhir pada pertengahan April 2020 dengan kasus harian baru terbesar berada di angka sekitar 600.

“Tentu perlu dicatat, ini adalah hasil pemodelan dengan satu model yang saya rasa ‘cukup sederhana’ dan sama sekali tidak mengikutkan faktor-faktor yang kompleksitasnya tinggi, “ ujar Nuning.

Dalam penelitiannya, Nuning dengan tim membangun model representasi jumlah kasus COVID-19 dengan menggunakan model Richard’s Curve karena sesuai dengan kajian Kelompok Pemodelan Tahun 2009 yang dibimbing oleh Prof. Dr. Kuntjoro A. Sidarto. Model tersebut terbukti berhasil memprediksi awal, akhir, serta puncak endemi dari penyakit SARS di Hong Kong tahun 2003.

Model Richard’s Curve lalu mereka uji pada berbagai data kasus COVID-19 terlapor dari berbagai macam negara, seperti RRT, Iran, Italia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, termasuk data akumulatif seluruh dunia. Ternyata, secara matematik, ditemukan bahwa model Richard’s Curve Korea Selatan adalah yang paling cocok (kesalahannya kecil) untuk disandingkan dengan data kasus terlapor COVID-19 di Indonesia jika dibandingkan dengan model yang dibangun dari data negara lain (kesesuaian ini terjadi saat Indonesia masih memiliki 96 kasus).

“Jadi, bisa dikatakan, jika kita punya penanganan yang mungkin sama, sesuai dengan publikasi yang ada dengan Korea Selatan, tanpa memasukkan faktor kompleksitas lainnya seperti temperatur lingkungan, kelembaban, dan lainnya, seharusnya kita bisa mendapat kesimpulan yang sama persis dengan apa yang ditulis pada publikasi kami,“ terang Nuning.

Akan tetapi Nuning mengakui, Korea Selatan termasuk beberapa negara di dunia yang paling baik dalam penanganan kasus COVID-19. “Tentu sulit untuk bisa persis seperti mereka, tetapi, setidaknya, dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa Indonesia perlu melakukan sesuatu untuk tetap berada dalam tren yang baik,“ ucapnya.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here