Sunday, 19 May 2024
HomeBeritaRizal Ramli: Mencetak Uang bisa Jadi Bencana Ekonomi Indonesia

Rizal Ramli: Mencetak Uang bisa Jadi Bencana Ekonomi Indonesia

BOGORDAILY.net – Ide mencetak uang untuk mengantisipasi krisis dan masa pandemi, yang sempat dilontarkan sejumlah tokoh dimentahkan ekonom senior . Ide itu dianggap akan memperburuk ekonomi Indonesia.

Ya, memang ada wacana yang menarik dalam perbincangan seputar ekonomi beberapa hari belakangan ini. Salah satunya yaitu terkait ide “mencetak uang”.

Menurut beberapa ekonom, mencetak uang saat ini sangat membantu pemerintah yang berada dalam kesulitan akibat pandemi virus Corona (Covid-19).

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne pada Selasa, 21 April 2020 lalu misalnya mengatakan pemerintah bisa saja mengambil opsi mencetak uang (printing money) untuk mengantisipasi krisis ekonomi di tengah penanganan pandemi COVID-19.

“Ya bisa saja mencetak uang Indonesia, tapi tentu menimbulkan inflasi kan. Menimbulkan inflasi, berarti pendapatan masyarakat turun,” kata JK.

Menurut dia, mencetak uang merupakan salah satu opsi karena memang tidak perlu dikuatirkan mengingat uang rupiah tidak akan kemana-mana dan tetap saja di dalam negeri. “Karena tidak laku di luar negeri. Cetak uang suatu solusi yang harus dijalankan untuk jangka pendek ini,” ujarnya.

Sebelumnya, usulan tersebut juga sempat dilontarkan oleh Menteri Keuangan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Chatib Basri. Ia mengatakan, bahwa Indonesia bisa mengambil kebijakan mencetak uang untuk membiayai anggaran pemerintah di tengah wabah Virus Corona alias COVID-19. Namun, kebijakan itu hanya bisa diambil dalam jumlah terbatas.

“Ruangnya ada tapi tidak bisa terus menerus dan jumlahnya tidak bisa terlalu signifikan seperti di Amerika Serikat,” ujar Chatib dalam diskusi daring, Selasa, 21 April 2020, seperti dikutip indonesiakita.co.

Ide mencetak uang tersebut rupanya tak berjalan mulus. Ide itu langsung ditolak oleh ekonom senior .

Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu menyebutkan bahwa mencetak uang hanya akan memperburuk kondisi perekonomian RI.

“Printing money pada saat pemerintah tidak kredibel, banyak praktik KKN, dan abused of power sangat berbahaya, bisa mengakibatkan inflasi. Dan yang paling bahayanya lagi, begitu printing money dilakukan, rupiah bisa anjlok ke angka Rp 20 ribu per dolar AS. Kecuali pemerintah kredibel” ujar .

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku telah melakukan langkah pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing (QE) dengan melakukan injeksi likuiditas, sebesar Rp 300 triliun. Ini untuk memastikan likuiditas di pasar keuangan tetap terjaga di tengah tekanan pandemi virus korona Covid-19.

Perry menjelaskan bahwa injeksi likuiditas bertujuan untuk menumbuhkan konsumsi masyarakat, menopang keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta dunia usaha lainnya.

Adapun injeksi likuiditas yang sudah dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah itu melalui triple intervention yakni intervensi di pasar spot, intervensi Domestic Non Delivery Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas asing di pasar sekunder.

Selain itu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan ke posisi 4,5%. “Melalui injeksi likuiditas, itu langkah quantitative easing. Masalahnya, likuditas yang kami sudah injeksi ke sektor keuangan ini bagaimana mengalir ke sektor riil, sehingga injeksi likuiditas yang dilakukan bank sentral bisa menumbuhkan konsumsi masyarakat, menumbuhkan UMKM, menumbuhkan dunia usaha. Itulah masalahnya di situ,” ujar dia dalam video conference, di Jakarta, Kamis (2/4).

Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani mengatakan, usulan anggaran Rp 1.600 triliun untuk penanganan corona dari Kadin tersebut terdiri dari Rp 400 triliun yang digunakan untuk kesehatan, Rp 600 triliun untuk jaminan sosial, serta Rp 600 triliun untuk stimulus ekonomi.

“Usulannya, anggaran itu dari Bank Indonesia (BI) dengan suku bunga 1% sampai 2%,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (22/4) lalu.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengungkapkan usulan pelaku usaha untuk kenaikan pagu anggaran untuk insentif Covid-19 tersebut telah disampaikan ke pemerintah melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

“Saya sudah menyampaikan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang usulan quantitative easing untuk Rp1.600 triliun ini. Responsnya, pemerintah beranggapan, sejauh ini gross (nilai kotor dari) insentif perpajakan saja sudah Rp1.200 triliun, sehingga insentif yang diberikan sejauh ini dirasa sudah cukup besar,” jelasnya dalam diskusi Senior Kadin bertajuk Mencari Terobosan Recovery Dunia Usaha dan Ekonomi Masa Pandemi dan Saran bagi Pemerintah Pusat & Daerah, Minggu (26/4/2020), malam.

tampaknya sangat jeli melihat banyaknya permintaan dari sejumlah pihak mengenai kebijakan cetak uang tersebut. Yang berbeda yaitu kali ini dilakukan dengan cara penyampaian dan permintaan dengan bahasa yang berbeda, namun memiliki makna yang sama yakni, cetak uang.

“Banyak agar dilakukan ‘Quntitative Easing' (QE). Istilah mah keren, nyontek dari US. QE itu mah ‘money printing' (Cetak Uang). Amerika, EC dan Jepang kuat, bisa ‘macro-pumping'. Kalau RI bakal jadi sumber bancakan baru ala BLBI (Recovery hanya 25%). Siapa yg tanggung-jawab?,” ujarnya seperti dikutip dari akun Twitternya @RamliRizal.

Quantitative Easing atau mencetak uang sering kali mengudang kontroversi. Sebagian beranggapan merupakan solusi, tetapi sebagian lainnya justru menganggapnya sebagai masalah seperti diungkapkan oleh . (*/bdn)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here