Sunday, 24 November 2024
HomeBeritaCerita Kopi Sarongge dari Cianjur : Cinta, Rasa dan Perjuangan

Cerita Kopi Sarongge dari Cianjur : Cinta, Rasa dan Perjuangan

BOGORDAILY.net – Indonesia kaya dengan kopi, variannya beragam dengan citarasanya masing-masing. Termasuk yang satu ini.

Kopi Sarongge, kopi dengan citarasanya yang khas. Bukan sekedar kopi, tapi ada cinta, ada rasa dan perjuangan di dalamnya.

Kopi Sarongge, merupakan salah satu produk kopi unggulan asal Cianjur, Jawa Barat dengan cita rasa unik.

Perkebunan kopi Sarongge

Kopi yang lahir dari kaki Gunung Gede ini menjadi andalan para petani di Sarongge, kampung kecil yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur, menggantungkan hidupnya.

Mereka yang dulunya bergelut dengan tanaman sayuran, kini menjadikan kopi sebagai penghasilan utama mereka.

Dibawah binaan Tosca Santoso, sang inisiator kopi Sarongge, para petani tak hanya membuat asap di dapur terus mengepul, melainkan juga telah berhasil mengembalikan hutan di Sarongge.

Wujud kecintaan Tosca Santoso dalam lingkungan sudah tak perlu diragukan lagi. Bahkan, jurnalis senior sekaligus pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) itu juga pernah ditangkap saat mendampingi petani Cimacan, yang tanahnya hendak dijadikan lapangan golf Cibodas pada 1986.

Para petani kopi Sarongge makan bersama

Inilah kisah lahirnya kopi Sarongge, kopi berkualitas dengan cita rasa dari hutan yang terjaga.

Petani tak bisa jauh dari tanah. Kebun adalah semangat dan daya hidup mereka. Maka tak lama setelah hutan di kaki Gede itu ditutup, sebagian anggota Koperasi Sugih Makmur, sudah rindu cangkul dan bau tanah. Tentu saja sebab utama adalah sumber asap dapur belum aman. Bahkan setelah program adopsi pohon selesai.

Awal 2014, di bawah pimpinan Dudu Duroni, sekira 20 petani meminta izin, menggunakan tanah desa di kaki Gn. Geulis. Lokasi yang sering disebut Pojok Tunggilis itu, masih satu desa dengan Sarongge. Hanya terpisah jalan raya, penghubung Bogor-Cianjur.

Atas dukungan perangkat Desa Ciputri, mereka dibolehkan berkebun sayur di sana. Membawa pengetahuan dari Sarongge, mereka tanam wortel, sawi, brokoli dan berbagai jenis sayur seperti di kampung asalnya. Toh lokasi hanya berjarak sekira 5 km. Tetapi ternyata berkebun sayur di sana hasilnya tak sebagus di Sarongge. Karena beda ketinggian, cuaca di sini lebih panas. Tanahnya pun lebih tipis lapisan hara. Beberapa petani langsung balik badan, ketika hasil sayur tak sebagus yang diharapkan. Dudu bertahan.

Bersama Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia (GIF), kami kembangkan pola adopsi pohon di lahan desa. Bukan pohon hutan, tetapi buah-buahan : nangka, alpukat, jeruk limau. Pohon buah dipilih karena, selain menambah tutupan bukit-bukit tanah desa, juga menambah penghasilan petani. Rupanya tanah di Tunggilis memang cocok untuk buah-buahan.Hingga suatu waktu, Dudu dan kawan-kawannya berpikir untuk menanam kopi.

November 2014, saya bagikan 20.000 bibit kopi Arabika kepada 25 petani Tunggilis. Tidak semuanya eks petani yang turun dari Gunung Gede. Sebagian mereka yang sudah lama tinggal di Tunggilis. Jadi, kopi menyatukan petani pendatang dan lokal di kaki Gn Geulis itu. Sayangnya, banyak yang di tak sabar menunggu tiga tahun, sampai kopinya panen. Mereka berhenti dan membiarkan kebun terlantar.

Ketika Dudu panen perdana, tahun 2017, ia sengaja pamer hasil panennya dalam kantong plastik cerah. Naik motor, ia bawa panennya itu ke tempat pengolahan kopi di Sarongge. Banyak tetangganya melihat dan jadi tertarik bertanam kopi. Kebun lama yang ditinggal petani mulai dirawat lagi. Dan tentu saja, tanah tak cukup.

Saat itulah kabar tentang perhutanan sosial sampai ke Kampung Tunggilis. Negara memberi akses 35 tahun kepada petani, untuk memanfaatkan hutansekaligus merawatnya. Dudu dan kawan-kawannya segera membentuk KTH. Satria Mandiri. Kelompok Tani Hutan itu mengajukan izin perhutanan sosial seluas 21,5 ha kepada Menteri Kehutanan.

Perkebunan kopi Sarongge

Proses itu tergolong cepat. Hanya lima bulan setelah pengajuan, izin perhutanan sosial (PS) untuk KTH Satria Mandiri keluar Juli 2018.

Presiden Jokowi menggenapi kebahagiaan 35 petani Tunggilis, ketika ia serahkan langsung sertifikat perhutanan sosial itu di Bandung, 11 November 2018. Kabar baik itu menyebar cepat. Petani Gn Geulis yang di balik Tunggilis, di Desa Pakuon, segera membentuk KTH Rindu Alam. Mereka ajukan 58,5 ha lahan untuk 30 keluarga tani. Dan izin keluar cepat, sebelum Pemilu 2019.

“Kami urus izin, biar tenang bertaninya,” kata Suarsa, yang biasa dipanggil Alo, Ketua KTH Rindu Alam.

Mereka umumnya menanam robusta, karena ketinggian lahan sekitar 800-1.000 mdpl. KTH Rindu Alam dengan didampingi GIF juga mengembangkan wisata lingkungan. Rumah pohonnya di tengah hutan dan kebun kopi, Saung Kanoman, menarik untuk disinggahi.

“Ini tanah terakhir saya. Tak mau pindah lagi,” kata Dudu. Kebun kopinya sekira 2 ha. Ia kini mengandalkan kopi untuk penghidupan. Sayur mayur untuk selingan, ketika musim panen kopi masih jauh.

Mereka beruntung dapat izin perhutanan sosial dengan cepat. Dan skema pinjaman modal kerja bertani juga segera mengikuti. KTH Satria Mandiri dapat kredit dari BNI. Sedang KTH Rindu Alam dari Badan Layanan Umum (BLU). Kredit berbunga rendah, 3% itu, punya tenggang masa bayar yang longgar. Tiga tahun. Itu memberi kesempatan petani sampai panen kopinya, baru kemudian membayar cicilan.

Tapi kelompok tani tetangga, KTH Maju Barokah, tak seberuntung petani Sarongge dan Pakuon. Ajuan mereka tidak pernah lengkap karena tanpa dukungan kepala desa. Kades cenderung LMDH yang maju. Sementara LMDH tidak bergerak. Pengajuan perhutanan sosial seluas 30 ha di Desa Ciherang, Kec. Pacet, Cianjur itu terkatung-katung. Sebagian petani tetap menanam kopi, tapi dengan was-was: Apakah ketika panen masih dapat memetik hasilnya?

Preferensi LMDH dibanding KTH, juga jadi ganjalan ketika petani Kubang, Cibanteng dan Ciwalen, mengajukan izin PS. Semula petani tiga desa, di Kecamatan Sukaresmi itu, membentuk Gabungan Kelompok Tani Hutan. Gapoktan. Sekira 550 petani ajukan izin untuk area 580 ha. Ketika verifikasi lapangan, petani diarahkan untuk ajukan izin per desa. Lewat LMDH. Jadi proses harus dimulai dari awal. Dan hanya Desa Cibanteng yang LMDH nya aktif. Dua desa lain terbengkalai. Saya ikut mengantar ketika Gapoktan itu mendaftarkan berkasnya ke Gedung Manggala. Tapi semangat itu ambyar ketika Gapoktan dianggap takeligible untuk mendaftarkan PS dengan cakupan wilayah kecamatan. Kerja pendampingan petani setahun lebih, terasa sia-sia.

Perhutanan sosial pernah jadi daya tarik pemerintah Jokowi. Tapi sekarang terdengar sayup saja. Apalagi, ketika wabah Covid-19 melanda. Rasanya harapan petani untuk dapat tanah secara legal itu, terpaksa diurungkan. Mereka akan terus berkebun di hutannegara. Tanpa legalitas. Tanpa pendampingan. Juga jauh dari jangkauan kredit modal kerja.

Target Jokowi untuk membagikan 12,7 juta ha tanah perhutanan sosial, tampaknya akan jauh dari terwujud.
Padahal perhutanan sosial ini adalah solusi bagus, untuk merawat hutan. Sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani sekitar hutan. Prinsip 3O yang diyakini petani Sarongge, sangat bisa diterapkan di bawah kebijakan perhutanan sosial. Hutan terjaga, kalau petani sekitar hutan sejahtera.

Kini, sebagian petani Sarongge dan Pakuon, memusatkan usaha mereka pada tanaman kopi. Ada yang sudah panen. Ada yang masih harus menunggu. Kerja keras mereka sudah dapat dinikmati para pecinta kopi Nusantara. Dengan berbagai varian Kopi Sarongge yang tersedia.

Tahun lalu, skor arabica Sarongge menempati posisi ketiga dalam lelang kopi specialty. Varian naturalnya, meraih skor 87 dalam uji cita rasa di Puslitkoka Jember. Perhutanan sosial memberi dasar yang kokoh, buat munculnya Kopi Sarongge.

Para petani Sarongge, telah menghasilkan kopiberkualitas bagus. Dengan profil : asam lembut, segar buah dan sedikit manis di ujungnya. Saya menyebutnya : cita rasa dari hutan yang terjaga. (bdn/*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here