Thursday, 25 April 2024
HomeKabupaten BogorFase Terberat PSBB

Fase Terberat PSBB

Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Bupati Bogor/ Ketua Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19)

DALAM dua hari ini, Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Bogor mengumumkan nihilnya kasus penularan Covid-19. Kabar ini tentu menggembirakan. Sebab kerja-kerja kami dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kabupaten Bogor membuahkan hasil. Padahal, angka penularan di tingkat nasional sedang mengalami peningkatan tertinggi selama pandemi.

Tercatat pada Kamis (21/5/2020), jumlah kasus pasien positif Covid-19 secara nasional, yakni sebanyak 973 orang. Penambahan jumlah kasus positif ini merupakan yang tertinggi sejak diumumkan kasus Covid-19 pertama kali di Indonesia pada 2 Maret lalu.

Kendati demikian, di Kabupaten Bogor pada periode yang sama, tercatat ada satu pasien dalam pengawasan (PDP) meninggal dunia, dan satu pasien Covid-19 sembuh. Hingga Kamis (21/5) malam, ada sebanyak 175 pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor, sebanyak 35 orang di antaranya sudah sembuh, dan 12 orang lainnya dilaporkan meninggal dunia.

Di samping itu kami juga mencatat ada sebanyak 1.522 orang dalam pemantauan (ODP), 1.260 di antaranya sudah selesai dipantau, dan 1.454 pasien dalam pengawasan (PDP), 988 di antaranya sudah selesai diawasi.

Sejauh ini kaum laki-laki mendominasi kasus positif Corona di Kabupaten Bogor. Angkanya mencapai 58,33 persen. Hal ini dimungkinkan karena tingkat mobilitas laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Kemudian berdasarkan kelompok umur, jumlah kasus dominan terjadi pada rentang usia 20 tahun sampai 59 tahun sebesar 82,06 persen. Usia rentan ini merupakan usia produktif yang masih bekerja.

Lalu untuk kelompok anak-anak sebesar 7,69 persen dan lanjut usia (lansia) sebesar 10,65 persen.

Kami memprediksi, penerapan kebijakan PSBB akan berada pada fase terberat sepanjang pekan ini dan pekan depan. Kita akan menyaksikan efektivitas PSBB dalam menekan penularan virus Corona.

Sejak PSBB pertama kali diterapkan pada 10 April lalu, yang dimulai dari ibu kota DKI Jakarta, salah satu yang dikhawatirkan menjadi pemicu ledakan penularan ialah kegiatan seputar Ramadan dan Lebaran. Pemerintah telah melarang mudik. Demikian pula kegiatan beribadahan yang masuk zona merah.

Penerapan PSBB pun melarang kerumunan dan mewajibkan warga menjaga jarak serta memakai masker saat berada di luar rumah. Namun, semakin hari, kepatuhan warga tampak semakin mengendur. Arus mudik tetap terlihat kendati larangan mudik telah ditetapkan jauh-jauh hari.

PT Jasa Marga (Tbk) mencatat sebanyak 306 ribu kendaraan meninggalkan Jakarta pada periode H-7 atau Minggu (17/5/2020), hingga H-4 Lebaran 2020. Kepadatan kendaraan terlihat di jalur-jalur tol. Bila bukan bertujuan mudik, lalu untuk apa?

Sepanjang pemberlakuan PSBB, kita juga melihat demonstrasi ketidakpatuhan dalam jumlah yang cukup masif. Ancaman sanksi tidak menyurutkan pelanggaran-pelanggaran yang timbul.

Kemarin, tambahan kasus positif Covid-19 secara nasional dalam sehari mencapai 973 orang, tertinggi sejauh ini. Di satu sisi, angka itu menunjukkan kian agresifnya tes yang dilakukan pemerintah. Di sisi lain, penambahan itu jelas menunjukkan penularan yang masih terus terjadi dengan laju lebih cepat.

Sejumlah daerah, sudah tiga kali memperpanjang masa pemberlakuan PSBB. Akan tetapi, semakin mendekati berakhirnya status kedaruratan penanggulangan wabah Covid-19 pada 26 Mei, belum ada tanda-tanda wabah menyurut. Bahkan, kini Indonesia semakin dihantui potensi ledakan kasus dengan sebaran daerah yang makin luas yang selama ini berusaha dihindari pemerintah.

Para tenaga medis mulai menjerit karena pasien tak ada hentinya membanjir. Ke depan masih ada satu lagi momen yang rawan menjadi pemicu lonjakan kasus, yakni salat Id berjamaah di masjid dan lapangan serta ritual silaturahim.

Seperti halnya mudik, pemerintah juga telah mengeluarkan larangan. Masyarakat dianjurkan tidak bersilaturahim dan lebih memilih dilakukan secara daring.

Jika larangan mudik saja dilanggar, apakah kedua momen itu tidak akan bernasib sama? Semua kembali pada kesadaran kita masing-masing. Yang jelas, tanpa kedisiplinan, mustahil bagi kita untuk bisa memutus rantai penularan Covid-19. Tanpa kedisiplinan, jangan pula berharap kita sanggup hidup berdampingan dengan Corona.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here