Saturday, 18 May 2024
HomeBeritaKrisis Pangan, Jangan salahkan Corona (Bag I)

Krisis Pangan, Jangan salahkan Corona (Bag I)

Oleh: Nanang Nurhayudi

Satu bulan yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan jika pandemi virus yang saat ini masih melanda seluruh dunia akan berimbas pada bencana kelaparan. Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley memprediksi bahwa skenario terburuk bencana kelaparan ini melanda sedikitnya tiga lusin negara, disebabkan oleh ketidaksiapan negara-negara dalam menjaga kestabilan ketersedian bahan pangan dan rantai pasokan terhenti sejak trend kebijakan “lockdown“ diberlakukan.

Ironisnya, saat ini justru di beberapa negara terdapat lebih dari 1 juta masyarakatnya dalam kondisi diambang kelaparan, disebabkan karena berada pada kemiskian dan sedang mengalami perang. Akan tetapi pada akhir tahun 2019 pernah disampaikan juga oleh PBB jika sebanyak 55 negara beresiko terjerumus dalam , disebabkan kelangkaan lahan pertanian dan akses ketersedian pangan.

Selama satu dekate ini, lahan pertanian banyak beralih fungsi imbas dari pembangunan kota, dorongan ekonomi dan urbanisasi. Negara pada kawasan Hindia, Asia Tenggara dan China masuk pada zona kawasan dengan ketersedian lahan pertanian rendah.

Berdasarkan perbandingan jumlah luas lahan pertanian 1 Ha dengan 1000 orang, rata-rata ketersediaan lahan pertanian pada kawasan Asia hanya berkisar 35%. Indonesia sendiri terjadi penyusutan lahan produktif pertanian berkisar pada angka 100.000–120.000 Ha setiap tahunnya dan berpotensi akan kehilangan 1.2 juta Ha lahan pertanian. Penyusutan ini dipicu oleh pesatnya pembangunan infrastruktur pada daerah sentra produksi pertanian serta lambatnya realisasi penambahan area sawah.

Ketika produktifitas pangan menurun tentu saja akan berimbas pada persoalan sosial, ekonomi, dan politik pada masyarakat, hal ini berpotensi menyebabkan konflik antar lini masyarakat baik antara agama, suku dan ras menjadi besar dan kemudian secara perlahan akan menyebabkan “global security”. Bekaca pada tahun 1997, ketika masalah pangan mencuat kepermukaan dibarengi tingginya harga kebutuhan pokok termasuk beras dan gula yang terus meningkat, kemudian melahirkan demonstrasi besar-besaran menuntut penurunan harga bahan pokok, sampai dengan terjadinya penggulingan kekuasaan, dikarenakan pemerintah dinilai gagal dalam menjaga kesetabilan ekonomi.

Riset yang dilakukan oleh beberapa lembaga survai menunjukkan selama periode 2005–2014, setidaknya sekitar 489 Ha lahan pertanian dipergunakan untuk pembangunan sepanjang 74,7 kilometer (km) jalan tol di Pulau Jawa. Selama periode ini, 5.228 Ha lahan pertanian juga dikonversi sebagai dampak pengembangan jalan tol. Sejak tahun 2015 sampai dengan 2019 program realisasi cetak sawah baru yang diharapkan dapat menggantikan alih fungsi lahan pertanian justru makin tahun makin mengalami penurunan, total dari jumlah 129.000 Ha pada tahun 2016 secara bertahap menurun drastis hingga pada kisaran 6000 Ha lahan yang masuk dalam lahan cetak sawah baru.

Hal ini menjadi wajar jika kemudian import kebutuhan bahan pangan kita melambung sampai dengan jumlah 2.01 Juta ton pada tahun 2018 yang menyebabkan harga jual beli beras di Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.

Singapore harga beras eceran yang beredar di pasar hanya berkisar Rp. 11.500,- sedangkan Thailand tidak lebih dari Rp.7.500,- untuk beras kwalitas sama dengan harga Rp.12.600,- yang beredar di pasaran Indonesia. Besar kemungkinan harga tinggi tersebut disebabkan karena rantai pasokan ketersedian pangan lebih panjang, melihat demografi Indonesia yang luas serta jalur transportasi belum terhubung dengan baik antara satu wilayah dengan lainnya.

Hal ini tentu saja berdampak pada kenaikan harga produk, termasuk hasil pertanian lainnya, semisal cabe, bawang dan sayur mayur, karena kelangkaan barang. Melonjaknya harga hasil pertanian berdampak langsung kepada kehidupan petani yang merupakan produsen utama dalam mata rantai ekonomi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here