Wednesday, 26 June 2024
HomeBeritaKrisis Pangan, Jangan salahkan Corona (Bag II)

Krisis Pangan, Jangan salahkan Corona (Bag II)

Oleh: Nanang Nurhayudi

Saat ini Indonesia butuh 300 ribu petani untuk membuka lahan baru seluas 200 ribu Ha cetakan sawah di Kalimantan Tengah, sebab satu lahan membutuhkan setidak-tidaknya 2-3 orang petani per hektar meski menggunakan sistem pertanian yang baik tetap membutuhkan sumber daya manusia yang besar. Sebagai bentuk antisipasi pasca gelombang COVID-19 berakhir, pembukan lahan pertanian baru diharapkan menjadi solusi.

Lantas pertanyaanya, apakah kita sudah siap dengan kebijakan dan aturan untuk mengatasi permasalahan klasik dari kegagalan masa lalu? di mana pertanian terganggu akibat petani meninggalkan lahan garapannya yang hanya bertahan pada satu musim tanam saja, kemudian beralih profesi pada bidang pekerjaan lainnya. Sebagai catatan pada tahun 2017 setelah disampaikannya sebuah sindirian oleh Presiden RI Bapak Ir. Joko Widodo dalam sebuah acara wisuda, di mana Beliau mengatakan jika sedikit lulusan yang memilih menjadi petani, lebih banyak bekerja di bank.

Kemudian dilakukanlah sebuah survai kepada alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) yang diwisuda pada tahun 2015, di mana sebanyak 72,74% dari 6.773 orang alumni yang mengisi kuesioner melalui program tracer Alumni. Data yang didapatkan menyatakan, jika sebanyak 13,30 % lulusan bekerja pada sektor pertanian “On farm” dan 11,42 % pada pengolahan hasil pertanian, sedangkan sisanya sebanyak  76,38 % bekerja di luar bidang tersebut, meskipun sesuai dengan jurusannya. Jika dilihat dari data tersebut bisa dikatakan ketersedian sumberdaya manusia bukan karena lulusan pertaniannya, melainkan pada minat generasi milenial terhadap pertanian sangat rendah, related dengan sedikitnya jumlah mahasiswa pada jurusan pertanian.

Generasi muda kita lebih suka menjadi youtuber, influencer dan officer ketimbang berprofesi menjadi petani, hal ini dikarenakan petani bisa disebut sebagai profesi rendahan, tidak menjanjikan, tidak bergengsi, bersiko tinggi, keuntungan rendah. Pertanian juga dipandang sebagai pekerjaan yang banyak masalah, mulai dari kesuburan tanah, bibit terbatas, alat pertanian yang mahal, tengkulak dan status lahan. Tak ayal banyak petani di Jawa Barat kemudian memilih menjual lahan warisannya ketimbang berkutat dengan pertanian, padahal petani adalah produsen utama dalam tatanan ratai ekonomi global. Menurut Hermanto guru besar IPB, Sebagai perbandingan di Jepang terdapat hukum yang membatasi fragmentasi dalam pewarisan lahan pertanian. Sementara di Indonesia, kepemilikan 5 Ha lahan oleh satu orang bisa beralih menjadi milik lima orang dengan masing-masing menguasai 1 Ha. Tidak semua ahli waris ini melanjutkan lahan tersebut untuk pertanian sehingga produktivitasnya menurun.

Sejak tahun 2017 pemerintah mengelurakan program Refrorma Agraria di mana peruntuknya adalah pengelolaan lahan kawasan hutan milik Negara untuk kegiatan perluasan lahan pertanian dan perkebunan. Melalui perhutanan sosial selama 3 tahun tersebut perkembanganya tidak signifikan dari 12,7 juta Ha, sampai tahun 2019 hanya 4,3 juta Ha lahan yang digarap dengan rata-rata digunakan untuk perkebunan semisal kopi. Sebanyak 16.000 KK di Jawa Barat memanfaatkan lahan perhutanan sosial untuk menanam kopi, hal ini berbanding lurus dengan data ekspor tahunan, di mana Indonesia masuk dalam jajaran produsen kopi terbesar di Dunia yakni 649.000 Ton pertahun bersanding dengan Vietnam dan Brazil.

Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai program cetak sawah tidak efektif untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia selama pandemi Covid-19. Menggunakan cara penambahan lahan cetak sawah baru tidak akan berkontribusi signifikan pada pemenuhan kebutuhan domestik yang meningkat seiring jumlah penduduk semakin bertambah. Menurut Pakar pertanian Prof. Totok Agung Dwi Haryanto, persoalannya bagaimana menyediakan pangan yang mencukupi, baik secara kuantitatif maupun mutu yang menjamin kesehatan seluruh masyarakat. Penyediaan pangan jangka pendek maupun jangka panjang.

Ada ataupun tidak ada setiap negara tentu memprioritaskan ketersediaan pangan bagi penduduknya. Saat ini yang mesti dilakukan justru berfokus pada optimalisasi lahan pertanian dan perbaikan tatanan system pertanian yang sudah tersedia dengan utamanya merevitalisai lumbung padi pada setiap daerah sampai tingkat kelurahan. Kemudian memanfaatkan semua lahan potensial yang ada untuk produksi pangan, baik tanaman, ternak, maupun ikan. Lahan pekarangan dan halaman rumah dapat dimanfaatkan melalui urban farming untuk bertanam sayuran dan bertenak ikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here