Sunday, 24 November 2024
HomeBeritaMaklumat DPD PSI Kota Bogor Kepada Walikota, Cabut Perwali Soal Sanksi PSBB!

Maklumat DPD PSI Kota Bogor Kepada Walikota, Cabut Perwali Soal Sanksi PSBB!

BOGORDAILY – Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bogor Sugeng Teguh Santoso, mempertanyakan Perwali Kota Bogor mengenai Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). DPD PSI Kota Bogor meminta Walikota Bogor Bima Arya mencabut Perwali tersebut, karena bertentangan dengan unsur-unsur hukum. Perwali yang dimaksud adalah, Perwali Kota Bogor No. 37 Tahun 2020 tentang Juknis Pelaksanaan Sanksi PSBB di Kota Bogor yang diterapkan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto.

“Sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia Kota Bogor, saya tergelitik dan bertanya tanya, apakah walikota bisa membuat muatan sanksi yang dituangkan dalam peraturan walikota. Perasaan tergelitik menjadi sangat terkejut ketika membaca pernyataan Walikota Bima Arya “semua mungkin diterapkan dan semua kewenangan ada pada kami”, kata pria yang akrab dipanggil STS itu.

Perwali 37 tahun 2020 itu, kata dia, mengatur sanksi administratif, sanksi sosial dan sanksi denda (sanksi pidana) terhadap warga masyatakat, toko, tempat usaha yang tidak mematuhi protokol pencegahan Covid-19 dengan sanksi disegel, ditutup bagi restoran, rumah makan dan tempat usaha, sanksi sosial membersihkan fasilitas umum dan saksi pidana denda mulai Rp50 ribu rupiah sampai dengan Rp50 juta rupiah.

“Yang pertama muncul dalam benak saya, adalah pertanyaan apakah walikota mempunyai kewenangan menetapkan sanksi administratif, sosial dan pidana pada badan usaha dan perseorangan berdasarkan Perwali?,” ujarnya.

Atas dasar hal tersebut, kata dia, dengan ini DPD Partai Solidariras Indonesia Kota Bogor menyampaikan maklumat dan kajian hukum;

Pertama. Penerapan saksi administratif, dan saksi pidana pada badan hukum dan atau subyek hukum perseorangan adalah sebuah pengekangan, paksaan yang melanggar hak asasi manusia, sehingga untuk dapat diterapkannya sanksi administratif dan atau pidana memerlukan persetujuan dari badan hukum atau subyek hukum perseorangan itu sendiri, dalam suatu mekanisme legislasi yang harus dibahas bersama oleh wakil-wakil subyek hukum pereorang tersebut di lembaga legislasi yaitu DPR/DPRD dan wajib mendapat persetujuan parlemen (DPR atau DPRD).

Peletakkan kewenangan tersebut adalah sesuai dengan teori Trias Politika (pembagian kekuasaan) eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif tidak boleh membuat regulasi yang mengekang hak asasi manusia tanpa persetujuan parlemen yang dituangkan secara Limitatif dalam UU.

“Walikota Bima Arya telah membuat sanksi administratif dan sanksi pidana denda dalam bentuk aturan Perwali tanpa persetujuan DPRD Kota Bogor,” kata STS.

Kedua. Berdasarkan Pasal 15 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 yang diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan peraturan Perundang undangan disebutkan: “materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam a). Undang Undang , b). Perda Provinsi, c). Perda Kabupaten/kota. Sama dengan hal tersebut Pasal 238 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2019 disebutkan, Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penuh seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai ketentuan UU. 

“Pak Bima Arya sanksi anda buat dalam Perwali. Itu melanggar uu lho,” kata STS mengingatkan.

Ketiga. Perwali No. 37 tahun 2020 tentang Sanksi PSBB ini merujuk pada Perda No. 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kesehatan. “Perwali ini bagaikan anak yang menyusu pada ibu yang salah,” begitu kata STS.

Pembatasan sosial berskala besar adalah bagian dari respon kedaruratan kesehatan masyarakat, yang bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi, antar orang disuatu wilayah tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Dalam UU kekarantinaan kesehatan  hanya diatur saksi pidana. Tidak ada sanksi administratif apalagi sanksi sosial.

“Pak walikota Bima Arya ini mau mengatur soal PSBB atau mengatur soal penyelenggaraan kesehatan sih pak. Ini dua hal yang berbeda kok dicampur aduk begitu,” kata advokat senior ini.

Keempat. Pasal 126 dan 127 Perda 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kesehatan yang dirujuk oleh Perwali Kota Bogor No. 37 Tahun 2020 tentang Sanksi PSBB itu salah kaprah.

Maksud dan tujuan serta subyek hukum yang dikenakan sanksi dalam Pasal 126 dan 127 Perda No. 11 Tahun 2018 adalah Penyelenggaran Kesehatan baik klinik atau RUMAH sakit, tenaga kesehatan tenaga medis dalam kaitan penyelengaraan kesehatan yang melanggar; tidak punya izin RS, menyelenggaran layanan kesehatan tidak sesuai dengan tipe dan kelas RS, tidak memberikan layanan keadaan darurat sesuai ketentuan UU.

Sanksi dalam Perda 11 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kesehatan bukan ditujukan pada orang perseorang , restoran, tempat makan, tempat usaha yang tidak mematuhi protokol pencegahan Covid-19.

“Selain itu bila Perwali Kota Bogor no. 37 tahun 2020 merujuk pada perda 11 tahun 2018 tentang penyelenggaraan kesehatan, maka kita akan tahu perda tersebut tidak mengatur sanksi sosial membersihkan fasilitas umum. Ini adalah ide yang tidak memiliki dasar pijakan hukumnya. Ini sanksi yang semaunya walikota terapkan bukan berdasarkan hukum,” tegasnya.

Kelima. Siapa yang akan menetapkan penjatuhan sanksi, jenis sanksi yang akan dijatuhkan, besaran sanksi/denda? Apakah pembuat aturan dalam Perwali yaitu walikota dan aparaturnya dalam hal ini satpol PP? Sudah jelas bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia menerapkan prinsip Trias politika sebagai upaya check and balances dan penghormatan HAM dengan prinsip Fair Trial. Dalam prinsip negara hukum ditegaskan bahwa tiada orang dapat dihukum tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.

Sangat menarik pernyataan kabag Hukum Pemkot Bogor yang dapat menerapkan sanksi pada pelanggar protokol pencegahan covid 19 tanpa proses Yustisial. Ini sangat melanggar HAM dan sewenang-wenang. Pemkot yang buat aturan sanksi PSBB melalui perwali dan pemkot pula yang bertindak sebagai penuntut umum serta hakimnya. Ini namanya pemusatan kekuasaan. Pasti otoriter dan sewenang wenang.

“Walah pak Walikota masa soal-soal elementer ini pak walikota yang doktor politik tidak memahaminya,” kata Sugeng.

Keenam. Dalam siaran pers walikota Bogor Bima Arya menyatakan bahwa setelah melalui rapat forkompimda Kota Bogor Perwali No. 37 Tahun 2020 tentang Sanksi PSBB ditetapkan.

“Kok saya ragu ya. Apakah pimpinan kejaksaan, kepolisian dan Pengadilan di Kota Bogor betul terlibat dalam membuat perwali yang salah kaprah tersebut,” ujarnya.

“Berdasarkan hal-hal di atas DPD PSI kota Bogor meminta Walikota Bogor mencabut Perwali No. 37 Tahun 2020 tentang sanksi PSBB di kota Bogor dan sebagai masukan tambahan, evaluasi kapasitas dan kapabilitas Kabah Hukum dan HAM kota Bogor,” pungkasnya. (bdn)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here