Sunday, 19 May 2024
HomeBeritaMenimbang Baik Buruknya Omnibus Law

Menimbang Baik Buruknya Omnibus Law

BOGORDAILY – Pemerintah putar otak di tengah buruknya kondisi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan tumbuh demi terhindar resesi ekonomi. Upaya dilakukan salah satunya pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Tentu usulan ini masih mengalami pro kontra. Pemerintah masih berkukuh bahwa aturan kemudahan investasi ini bisa menolong perlambatan ekonomi yang terjadi.

Masuknya investasi diharapkan membuka peluang tercipta lapangan kerja. Lalu masyarakat bisa kembali memiliki pendapatan dan selanjutnya dibelanjakan. Roda ekonomi kembali bergerak dan Indonesia selamat dari ancaman resesi ekonomi.

“Pasti, ekonomi pulih ini kan kalau ada daya beli dan itu ada kalau ada investasi. Jadi ini semua berkaitan,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Donny Gahral kepada merdeka.com pekan lalu.

Pertumbuhan ekonomi nasional kontraksi hingga 5,32 persen di kuartal II-2020. Tingkat konsumsi yang rendah membuat Indonesia harus merasakan roda ekonominya berputar di angka minus 4,19 persen.

Meski demikian, kepastian waktu dampak realisasi skema tersebut belum bisa diketahui. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Namun terpenting saat ini menciptakan ekosistem bisnis yang disukai para investor.

RUU ini dianggap menjadi pondasi aturan kemudahan para investor menanamkan modalnya di tanah air. Donny menerangkan subtansi RUU ini untuk menciptakan iklim bisnis yang lebih baik dari sebelumnya. Dia membantah jika aturan ini hanya berpihak kepada korporasi. Sebaliknya, ujung dari peraturan usulan pemerintah ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

“RUU ini memperbaiki ekosistem bisnis dan investasi. Jadi ujungnya lapangan kerja akan terbuka dan orang bisa bekerja dan ekonomi bisa bergulir,” paparnya.

Kemudahan berusaha dari pemerintah kepada pengusaha tersebut beriringan dengan penjaminan hak-hak buruh. Dalam aturan tersebut juga diatur, seperti hak cuti dan pesangon masih tetap sama.

Sayangnya, kata dia, buruh menganggap aturan ini hanya berpihak kepada korporasi. Beberapa pasal yang ada di kluster ketenagakerjaan ini masih bisa didiskusikan baik dengan buruh atau pengusaha. “Ini masih dinamis, masih bisa berproses dan bisa didiskusikan,” kata dia.

Pada Februari lalu, pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan. Sebagai badan legislatif, DPR hingga saat ini masih terus membahas 173 pasal dalam RUU tersebut. Terdapat lebih dari tujuh ribu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang harus dibahas.

Sebanyak lima ribu DIM telah diselesaikan karena hanya membutuhkan koreksi perubahan redaksional pengambilalihan kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Sementara masih ada 2050 DIM yang masih dalam pembahasan.

Meski masih dalam kondisi pandemi, Donny berharap pembahasan RUU ini tidak terhambat. Sebab pemerintah menginginkan segera disahkan menjadi undang-undang. Mengingat pemerintah ingin menjadikan aturan ini sebagai alternatif pemulihan ekonomi nasional.

“Ya sesegera mungkin, setelah reses ini berakhir, lalu persidangan dibuka kembali,” ungkapnya.

Ketua Panitia Kerja DPR untuk RUU Cipta Kerja, Supratman Andi Agtas, mengatakan pihaknya tidak bisa memberikan kepastian penyelesaian pembahasan RUU. Sebagai pemimpin dia hanya bisa menentukan jadwal dan mekanisme pembahasan saat rapat. Dirinya tak memiliki kuasa untuk mempercepat proses pembahasan.

“Saya sebagai Ketua Panja bisa mengatur lalu lintas persidangan tapi kan keputusan itu ada di tangan fraksi,” kata Supratman kepada merdeka.com pekan lalu.

Cepat lambatnya pembahasan RUU bergantung pada para peserta rapat yang terdiri dari berbagai fraksi di DPR. Sepanjang persidangan Supratman mengaku kondisi sangat dinamis. Banyak hal yang dikritisi para anggota legislatif terhadap aturan buatan pemerintah itu.

Perdebatan alot terjadi pada keinginan pemerintah yang mengambil alih kewenangan pemberian izin dari pemerintah daerah. Usulan aturan ini menjadi perdebatan karena bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut menyatakan pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri berdasarkan otonomi daerah.

Dalam perjalanan, akhirnya disepakati untuk kembali sesuai dengan undang-undang dasar dengan kesepakatan pengambilan keputusan tetap ada di pemerintah pusat tetapi pemerintah daerah ikut dilibatkan dalam prosesnya. “Undang-Undang itu tidak boleh menabrak Undang-Undang Dasar dan buktinya pemerintah setuju,” kata dia.

Politikus Partai Gerindra ini mengungkapkan banyaknya kluster dalam RUU menjadi salah satu faktor pembahasan calon aturan baru ini lama disahkan. Tiap kluster juga memiliki masalah yang berbeda. Misalnya kluster ketenagakerjaan yang menjadi sorotan banyak pihak. Bukan hanya DPR dan Pemerintah, kaum buruh dan pengusaha juga ikut bereaksi dalam hal ini.

Supratman membaca kegelisahan para buruh terkait pengupahan dan pola kerja yang diatur dalam RUU ini. Ada tiga poin yang menjadi tuntutan buru sebagai pekerja, yakni jaminan kepastian menyangkut pekerjaan, kepastian penghasilan dan kepastian jaminan sosial.

Bukan tak ingin membela kepentingan buruh, sebaliknya DPR ingin menempatkan posisinya di tengah-tengah antara buruh, pemerintah dan pengusaha. “Tugas DPR itu menyeimbangkan. Kita menyeimbangkan kepentingan yang saling tarik menarik antara pengusaha dan kelompok buruh,” kata dia.

Dalam hal ini, DPR sepakat dalam mengambil keputusan nanti akan memperjuangkan pembatalan penghapusan UMR dan membatasi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Terutama TKA yang hanya bekerja sebagai buruh kasar di berbagai proyek.

Pemerintah dan DPR sepakat pembahasan terkait kluster ketenagakerjaan dibahas paling akhir. Alasannya kedua belah pihak ini bisa mendapatkan berbagai macam masukan dan menunggu hasil negosiasi antara pemerintah dengan pengusaha dan serikat pekerja.

Bagi DPR, RUU Cipta Kerja juga diyakini menolong para pengusaha mikro lebih mudah dalam mendapatkan perizinan. Lewat sistem One Single Submission (OSS) yang dibuat pemerintah, pelaku usaha mikro bisa mendaftarkan jenis usahanya. Setelah terdaftar, mereka jadi lebih mudah mendapatkan pinjaman modal dari lembaga pembiayaan.

Pemerintah daerah juga tetap bisa menjalani kewenangannya sebagai pemberi izin usaha. Hanya saja proses pemberian izin dibatasi waktu tertentu. Jika izin tak kunjung diberikan pemerintah daerah, maka prosesnya akan diambil alih langsung oleh pemerintah pusat.

“Sehingga ada kepastian dalam mengurus izin dan ada kepastian hukumnya, baik ketepatan waktu maupun menyangkut kepastian hukum,” kata dia.

Bila RUU ini telah disahkan, pemerintah memiliki waktu selama 3 bulan untuk menerjemahkan UU dalam bentuk peraturan pemerintah. Supartman mengatakan saat ini pemerintah telah membuat peraturan pemerintah dari sejumlah DIM yang disepakati. Sehingga jika telah diundangkan, realisasi UU Cipta Kerja akan lebih cepat.

Dia melanjutkan setidaknya RUU ini nantinya akan memberikan sumbangsih kepada pertumbuhan ekonomi yang saat ini sedang mengalami perlambatan. Lewat kemudahan aturan dalam berinvestasi ini akan memberikan kepastian hukum. Sehingga jumlah investasi dalam negeri atau asing akan mudah masuk.

Ancaman RUU

Rencana pemerintah menjadikan RUU cipta lapangan kerja sebagai alternatif pemulihan ekonomi dianggap hanya isapan jempol belaka. Sebab, RUU buatan Kabinet Indonesia Maju ini tidak memiliki indikator instrumen yang jelas. Pemerintah hanya memberikan narasi janji politik bak masa kampanye dalam setiap pemilihan umum.

“Saya tidak percaya itu. Kalau hanya menjanjikan sesuatu tanpa instrumen yang jelas itu namanya narasi yang menjadi ilusi dan menghasilkan halusinasi,” kata Ekonom INDEF Enny Sri Hartati saat dihubungi merdeka.com pekan lalu.

Enny menilai pengesahan RUU Cipta Lapangan Kerja tidak memiliki perencanaan di bidang ekonomi. Padahal semua kebijakan ekonomi terukur dengan instrumen dan indikator yang jelas. Sehingga rencana pemerintah menjadikan aturan ini sebagai salah satu senjata pemulihan ekonomi hanya angan-angan. Sebaliknya, percepatan pembahasan RUU ini dimanfaatkan pemerintah karena banyak pihak saat ini tengah fokus pada dampak pandemi Covid-19.

Sebagaimana diketahui calon undang-undang usulan pemerintah ini menuai penolakan dari masyarakat, terutama kaum buruh. Hal ini dilakukan demi melanggengkan kepentingan pemerintah dan menjadikan momentum ini untuk memaksakan agendanya untuk segera disahkan.

“Kegentingan di masa pandemi ini dimanfaatkan oleh oligarki untuk mengabulkan atau meloloskan kepentingannya,” kata Enny.

Seharusnya, kata Enny, pemerintah harus bisa menjelaskan kegunaan aturan buatannya itu kepada masyarakat. Alasannya harus konkret. Penolakan hadir karena masyarakat menilai tidak ada hal konkret yang ada dalam RUU tersebut.

Memang diakui saat ini banyak negara tengah menghadapi resesi ekonomi. Dampak ekonomi akibat pandemi membuat berbagai perusahaan terpaksa tak lagi mempekerjakan karyawan.

Angka pengangguran semakin tinggi. Sektor bisnis tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan. Tetapi pemerintah malah meminta para pengusaha untuk menyerap tenaga kerja. “Ini sama sekali enggak rasional, ini malah lompat,” ungkap Enny.

Pemerintah semestinya hadir untuk memberikan ruang atau intervensi agar para pelaku usaha bisa pulih. Jika perusahaan atau para pengusaha ini mengalami perbaikan kondisi dan kembali pulih, secara otomatis lapangan pekerjaan akan kembali terbuka dan terserap.

Dalam hal ini seharusnya pemerintah melakukan konsolidasi nasional. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus saling bekerja sama.

Presiden Joko Widodo telah memperingatkan agar para pembantu dan pemerintah daerah bisa mengambil kebijakan diluar kebiasaan (extra ordinary). Namun, yang terjadi lewat RUU Omnibus Law kondisi dibuat sebaliknya.

Selain itu sumber daya alam (SDA) di Indonesia terancam dieksploitasi oleh investor akibat kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Pemberian izin tak lagi mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 194. Enny malah mempertanyakan kesejahteraan rakyat mana yang menjadi prioritas pemerintah sat ini.

“Lalu sebenarnya janji kesejahteraan yang mana lagi yang diberikan,” ungkapnya.

Sedangkan Pakar Hukum tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini bakal merugikan masyarakat secara umum. Salah satunya tentang pengupahan bagi kaum buruh. Dalam hal ini pemerintah beranggapan pekerja yang dimaksud bukan pekerja kerah biru.

Pekerja kerah putih memiliki posisi tawar yang bisa dinegosiasikan pengusaha. Sebaliknya, pekerja kerah biru tidak bisa memiliki posisi tawar karena mereka hanya buruh di banyak pabrik.

Sejauh ini berbagai sanksi untuk pelanggar dalam undang-undang ketenagakerjaan beralih menjadi sanksi administratif bukan lagi sanksi pidana. Tentu saja hal ini sangat berbahaya karena bisa dengan mudah hak-hak buruh dilanggar.

“Ini nanti akan ada hubungan tidak seimbang dan hak-hak buruh ini (akan) banyak dilanggar,” kata dia.

Bivitri juga mengkritisi pemerintah yang beranggapan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai kendaraan pemerintah untuk keluar dari dampak ekonomi akibat pandemi. Dia menilai kemudahan perizinan yang diberikan pemerintah tidak serta merta akan menarik para investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Alasan utamanya terkait jenis investasi yang bakal masuk ke Indonesia. Dia mengatakan berbagai pasal yang terdapat di RUU tersebut bertentangan dengan lingkungan hidup. Penghapusan Amdal dalam proses perizinan sangat disayangkan.

Selain itu, rupanya penghapusan amdal tersebut tak selamanya disambut baik oleh para investor asing. Sebab negara-negara yang tergabung dalam OECD enggan berinvestasi di negara yang mengabaikan lingkungan hidup. Di negara asalnya mereka juga wajib mengikuti aturan pemerintah setempat dengan berinvestasi di negara yang ramah lingkungan.

Artinya, kata Bivitri, investor yang bakal datang ke Indonesia kemungkinan besar tidak memedulikan masalah lingkungan hidup. Sehingga tidak menutup kemungkinan hanya ingin melakukan eksploitasi kekayaan alam bumi nusantara.

Selain itu, masalah perizinan nyatanya bukan faktor utama investor asing enggan menanamkan modalnya di tanah air. Berdasarkan data Global Competitiveness Report tahun 2017-2018, masalah korupsi menjadi faktor pertama yang membuat investor asing tidak mau berinvestasi di Indonesia.

Sehingga jika pemerintah berpikir RUU Omnibus Law Cipta Kerja bisa menolong pertumbuhan ekonomi yang sedang lemah, itu salah besar. Apalagi saat ini dunia tengah mengalami resesi ekonomi. Bivitri memperkirakan akan sulit mendapatkan investor baru saat ini.

Dia mengingatkan, RUU ini disusun pemerintah setahun lalu saat pandemi belum muncul. Kondisi yang dihadapi masyarakat pun hari ini berbeda. Masyarakat hidup di tengah ketidakpastian ekonomi akibat penyebaran virus corona. Berbagai negara pun berupaya menyelamatkan diri sendiri.

“Skema yang ditawarkan tidak akan mengundang investor asing juga yang lagi resesi, jadi ini enggak akan jadi obat ajaib,” kata dia. Bivitri malah menyarankan pembahasan RUU ini sebaiknya dihentikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here