flasi melebihi 50 persen dalam kurun waktu 30 hari berturut-turut.
Demikian kata seorang Profesor Universitas Johns Hopkins, Steve H Hanke.
Barang-barang kebutuhan sehari-hari melonjak tajam dan mendorong Alebanon masuk ke jurang krisis. Angka inflasi tinggi berarti banyak harga barang menjadi tidak lagi terjangkau.
“Kami sudah mulai menerima pesan dari mereka yang berpendidikan, mereka hanya meminta bantuan kepada kami. Tidak ada lagi masyarakat kelas menengah,” kata Executive Manager Lebanese Food Bank, Soha Zaiter.
Lebanon sangat bergantung pada impor, yang mana 60 persen merupakan barang konsumsi, kata Ekonom Lebanon, Roy Badaro. Hal itu karena sangat tingginya korelasi antara impor dan konsumsi, lonjakan nilai tukar terhadap dolar AS kemudian diterjemahkan sebagai kenaikan besar-besaran harga eceran. Barang seperti pakaian dan alas kaki saja sudah mengalami kenaikan 345 persen dalam kurun waktu setahun.
Selain itu, kebijakan lockdown untuk menekan penyebaran virus COVID-19 memberikan dampak tutupnya terhadap bisnis-bisnis kecil dan PHK besar-besaran, telah mendorong Lebanon ke dalam jurang krisis ebih dalam.
Kata Soha Zaiter, lebih dari setengah populasi Lebanon sekarang hidup dalam garis kemiskinan. Bank Dunia bahkan memperkirakan 155 ribu rumah tangga hidup dalam garis kemiskinan ekstrim.
“Jika dibandingkan dengan situasi sebelum dan sesudah, tidak hanya COVID-19, tapi bahkan sebelum revolusi dimulai pada Oktober 2019. Sekarang masyarakat bergantung pada LSM karena pemerintah tidak punya rencana apapun,” katanya.
Sementara pemerintah Lebanon sudah menjanjikan bantuan keuangan bagi 43 ribu keluarga miskin. Hanya saja mereka takut bantuan itu tidak tepat sasaran.
“Daftar data keluarga sudah lama sekali, beberapa dari mereka bahkan sudah ada yang meninggal atau tidak lagi tinggal di Lebanon,” kata Zaiter.