Thursday, 25 April 2024
HomeBeritaKajian Potensi Tsunami 20 Meter Bukan untuk Picu Kepanikan

Kajian Potensi Tsunami 20 Meter Bukan untuk Picu Kepanikan

BOGORDAILY – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) angkat bicara terkait kajian tim riset ITB yang mengungkap potensi bencana  setinggi 20 meter akibat gempa megathrust di pantai selatan. BMKG menegaskan kajian itu dibuat bukan untuk menimbulkan kecemasan, tapi agar semua pihak waspada dan sebagai upaya penguatan sistem mitigasi bencana.

“Sebagai negara berpotensi rawan bahaya gempa bumi dan , penelitian/kajian gempa bumi dan di Indonesia perlu selalu didorong dengan tujuan bukan untuk menimbulkan kecemasan dan kepanikan masyarakat, namun untuk mendukung penguatan sistem mitigasi bencana,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, Selasa (29/9/2020).

“Sehingga kita dapat mengurangi atau mencegah dampak dari bencana itu, baik jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan bangunan dan lingkungan,” lanjutnya.

Dwikorita mengatakan, sebelumnya peneliti telah melakukan kajian potensi besar di Pantai Selatan hingga 20 meter akibat gempa bumi megahtrust sejak beberapa tahun lalu. Metode pendekatan, dan asumsi yang dilakukan dalam tiap penelitian tersebut berbeda, tapi hasilnya kurang-lebih sama.

“Yaitu potensi terjadinya dengan ketinggian sekitar 20 meter, dalam waktu 20 menit gelombang tiba di pantai sejak terjadinya gempa. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Widjo Kongko (2018), Ron Harris (2017 – 2019), dan yang terakhir oleh tim lintas lembaga yang dipimpin oleh ITB dan didukung oleh BMKG,” sebut Dwikorita.

Adapun hasil penelitian tersebut diperlukan untuk menguatkan sistem mitigasi gempa bumi dan peringatan dini . Hal tersebut, menurut Dwikorita, mengingat potensi kejadian gempa bumi dan di Indonesia tidak hanya berada di pantai selatan Jawa saja, tapi juga berpotensi terjadi di sepanjang pantai yang menghadap Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ataupun pantai yang berdekatan dengan patahan aktif yang berada di laut, yang maknanya busur belakang atau back arc thrusting, ataupun membentang sampai ke laut, dengan berbagai potensi ketinggian gelombang .

“Penelitian terakhir oleh ITB yang didukung oleh BMKG, KKP, dan BIG dilakukan berdasarkan analisis data-data kegempaan BMKG dan pemodelan dengan beberapa skenario. Skenario terburuk mengasumsikan jika terjadi gempa bumi secara bersamaan di 2 segmen megathrust yang ada di selatan Jawa bagian Barat dan Selatan Jawa bagian Timur, yang mengakibatkan dengan tinggi gelombang maksimum 20 meter di salah satu area di selatan Banten, dan mencapai pantai dalam waktu 20 menit sejak terjadinya gempa,” paparnya.

“Mekanisme kejadian tsunami yang dimodelkan ini serupa dengan kejadian tsunami Banda Aceh tahun 2004, yang juga diakibatkan oleh gempa bumi dengan Mw 9,1 dan tsunami mencapai pantai dalam waktu kurang lebih 20 menit. Hasil pemodelan ini dapat juga menjadi salah satu acuan bahwa lahan di pantai yang berada pada ketinggian lebih dari 20 meter, relatif lebih aman terhadap ancaman bahaya tsunami,” imbuh Dwikorita.

BMKG menilai hasil pemodelan tersebut juga penting untuk penyiapan jalur dan tempat evakuasi ataupun untuk penataan lahan di daerah rawan tsunami. Menurut Dwikorita, sejak 2008 Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi potensi kejadian tsunami akibat gempa bumi megathrust seperti yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004, dan juga seperti yang telah dimodelkan oleh beberapa peneliti yang telah disebutkan sebelumnya.

“Jadi Sistem Peringatan Dini yang dibangun di BMKG memang disiapkan untuk memonitor dan mengantisipasi kejadian gempa bumi (termasuk gempa bumi megathrust) dengan magnitudo dapat mencapai lebih dari Mw 9, dan memberikan peringatan dini potensi datangnya gelombang tsunami. Dalam waktu 3 sampai dengan 5 menit setelah kejadian gempa bumi,” terangnya.

Dwikorita mengatakan sistem monitoring dan Peringatan Dini tersebut yang dioperasikan dengan Internet of Things (IoT) diperkuat oleh super computer dan Artificial Intelligent (AI). Dengan sistem ini, secara otomatis dapat menyebarluaskan informasi peringatan dini tsunami ke masyarakat di daerah rawan gempa bumi dan tsunami melalui BNPB, BPBD, media massa, ataupun beberapa moda diseminasi baik SMS, e-mail, website, dan media sosial.

“Dengan penyebarluasan peringatan dini tsunami tersebut maka masih tersisa waktu kurang-lebih 15 sampai dengan 17 menit untuk proses evakuasi, apabila waktu datangnya tsunami diperkirakan dalam waktu 20 menit,” ujar Dwikorita.

Dwikorita menyatakan hasil penelitian yang ditindaklanjuti dengan peringatan dini belum dapat sepenuhnya menjamin keberhasilan upaya pencegahan terjadinya korban jiwa dan kerusakan akibat tsunami, tanpa kesiapan masyarakat, Pemerintah Daerah dan seluruh pihak terkait. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan dari pemda bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk melakukan berbagai langkah kesiapan pencegahan bencana.

“Langkah tersebut harus didasarkan pada edukasi masyarakat agar mampu melakukan perlindungan dan penyelamatan diri terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, juga merespons Peringatan Dini secara cepat dan tepat. Peran Media sangat penting dan efektif dalam mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat secara tepat, untuk meningkatkan kewaspadaan tanpa menimbulkan kepanikan,” tegas Dwikorita.

Dia menilai, kesiapan Pemda juga sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasarana evakuasi, peta rawan bahaya gempa bumi dan tsunami, jalur dan tempat evakuasi. Kemudian juga, kata Dwikorita, melaksanakan gladi evakuasi secara rutin, menerapkan Building Code standar bangunan tahan gempa bumi dan tsunami, terutama untuk bangunan publik dan bangunan vital.

“Melaksanakan audit bangunan yang diikuti dengan upaya memperkuat konstruksi bangunan agar benar-benar tahan terhadap gempa bumi dan tsunami, serta dalam menerapkan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menegakkan aturan secara ketat agar masyarakat dan seluruh pihak benar-benar mematuhi seluruh langkah upaya mitigasi ini,” tambah dia.

Dwikorita menegaskan, langkah-langkah penyiapan strategi mitigasi yang sesuai dengan local wisdom saat ini harus benar-benar dilakukan, diuji dan ditingkatkan. Ini sesuai sebagaimana yang telah diamanahkan dalam Undang-undang no. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Presiden No 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami.

“BMKG di seluruh Provinsi dan Wilayah Rawan Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia tetap terus siaga 24 jam dengan memonitor/ menginformasikan kejadian gempa bumi secara real time dan dengan seketika memberikan Peringatan Dini potensi tsunami yang dapat dibangkitkan, serta terus mendukung dan bersinergi dengan BNPB, Pemerintah Daerah/ BPBD, TNI, Polri, Media, masyarakat dan berbagai pihak terkait utk lebih siap dalam mengantisipasi bahaya gempa bumi dan tsunami,” ucap Dwikorita.

Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merespons informasi soal potensi tsunami 20 meter di selatan Jawa. Rencananya, BPBD DIY dan sejumlah pihak terkait besok akan menggelar simulasi terkait upaya memaksimalkan efektivitas ‘golden time' peringatan dini tsunami.

“Ya potensi (tsunami) memang ada, tapi juga kita belum tahu kapan (terjadinya). Yang penting memang jangan membuat panik tetapi meningkatkan kewaspadaan,” kata Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantana saat dihubungi detikcom, Selasa (29/9).

Guna meminimalisir kepanikan, BPBD akan melaksanakan simulasi di pesisir pantai selatan besok, Rabu (30/9). Simulasi yang menggandeng beberapa instansi ini menekankan pada pengecekan early warning system (EWS).

“Besok itu ada simulasi bersama dengan Badan Geologi, BMKG untuk mengecek kesiapan dari sistem peringatan dini (EWS) di provinsi dan kabupaten yang berhadapan dengan Samudera Hindia,” ucapnya.

Pasalnya, jika terjadi gempa informasi data awalnya akan terkirim ke pusat. Kemudian dari pusat, BMKG mengirimkannya ke daerah untuk menentukan peringatan ada tidaknya tsunami.

“Kecepatan itu penting untuk bisa evakuasi, artinya kunci untuk keselamatan pada bencana gempa yang berdampak tsunami kan saat golden time itu. Jadi bagaimana masyarakat dalam rentang waktu itu bisa memperoleh info berpotensi tsunami atau tidak,” katanya.

“Lalu kalau tidak terjadi ada pengumuman lagi peringatan dicabut. Sistem ini yang akan diuji coba melalui EWS-nya,” imbuh Biwara.

Selain itu, saat ini BPBD telah membentuk Desa Tangguh Bencana (Destana) hingga sekolah siaga bencana. Menurutnya dengan adanya dua hal tersebut membuat masyarakat siap menghadapi bencana, karena itu pihaknya tinggal memberi stimulan agar masyarakat ingat kembali langkah-langkah yang diperlukan.

Menyoal adanya EWS yang rusak, Biwara mengaku baru akan membahasnya besok dengan berbagai pihak. Semua itu dilakukan sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi bencana.

Lebih lanjut, pakar geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Gayatri Indah Marliyani menilai masyarakat tidak perlu panik menyikapi kajian penelitian terkait potensi gempa besar yang bisa menyebabkan tsunami 20 meter di selatan Jawa. Dia menjelaskan hasil studi itu berupa skenario gempa dan tsunami yang berupa potensi bukan prediksi. Lalu apa bedanya?

“Untuk menjadi prediksi, informasi yang disampaikan harus meliputi waktu, besaran magnitudo dan lokasi kejadian. Potensi terjadinya tsunami memang ada di selatan Jawa, tapi kapan terjadinya kita belum tahu,” katanya melalui keterangan tertulis kepada wartawan dari Humas UGM, Selasa (29/9).

Meski kajian penelitian mengungkap potensi tersebut, menurut Gayatri, masyarakat diharapkan tidak perlu panik. Menurutnya, skenario yang disampaikan tidak serta merta memberikan informasi kejadian gempa dan tsunami di selatan Jawa akan terjadi besok atau lusa.

Menurutnya, hingga saat ini masih belum ada teknologi yang terbukti bisa melakukan prediksi dengan akurasi tinggi. Upaya penting yang bisa dilakukan masyarakat adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala bencana yang mungkin terjadi, termasuk bencana gempa bumi dan tsunami.

Misal terjadi tsunami, lanjut Gayatri, setidaknya masyarakat harus mengetahui harus ke mana. Jika berada di tepi pantai, lantas merasakan gempa besar dan melihat air laut surut maka harus segera menjauhi pantai dan menuju tempat yang tinggi seperti bukit atau gedung-gedung yang tinggi.

Sebelumnya, kemungkinan terjadinya bencana tsunami setinggi 20 meter di sepanjang pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur diungkap oleh tim riset dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal ini disampaikan untuk mengedukasi dan kewaspadaan masyarakat.

Sri Widiyantoro, peneliti ITB, menerangkan dasar riset mereka adalah hasil pengolahan data gempa yang tercatat oleh stasiun pengamat BMKG serta data Global Positioning System (GPS). Diperoleh indikasi adanya zona dengan aktivitas kegempaan yang relatif rendah terhadap sekitarnya, yang disebut sebagai seismic gap, di selatan Pulau Jawa.

“Seismic gap ini berpotensi sebagai sumber gempa besar (megathrust) pada masa mendatang. Untuk menilai bahaya inundasi, pemodelan tsunami dilakukan berdasarkan beberapa skenario gempa besar di sepanjang segmen megathrust di selatan Pulau Jawa. Skenario terburuk, yaitu jika segmen-segmen megathrust di sepanjang Jawa pecah secara bersamaan,” kata Sri saat dihubungi, Kamis (24/9).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here