Sunday, 23 June 2024
HomeBeritaBanjir Penolakan RUU Larangan Minuman Beralkohol dan Alasan di Baliknya

Banjir Penolakan RUU Larangan Minuman Beralkohol dan Alasan di Baliknya

BOGORDAILY – Usulan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol () kembali dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Selasa (10/11). Salah satu pengusul, anggota Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, pengusul RUU tersebut tidak hanya berasal dari Fraksi PPP, melainkan juga ada anggota Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra.

Illiza menyebutkan beberapa alasan PPP mengusulkan . Pertama dia meyakini larangan minuman beralkohol merupakan amanah konstitusi dan agama, pasal 28H ayat 1 undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Selain itu, alasan lain adalah larangan dalam agama islam. “Al-Qur'an juga menyebutkan dalam surat Al-Maidah (90-91) yang artinya, wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk berhala), dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung,” terangnya.

Illiza mengklaim, RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol, selain itu adanya RUU ini juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol.

“Sejumlah poin usulan norma larangan minuman beralkohol. Di antaranya, setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual dan mengkonsumsi larangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan yang memabukkan,” terangnya.

Alasan lain, Illiza menyatakan saat ini minuman beralkohol belum diatur secara spesifik dalam bentuk UU. Sebab, saat ini hanya dimasukkan pada Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pasal yang sangat umum dan tidak disebut secara tegas oleh UU.

Penolakan Pengusaha

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Hubungan Antarlembaga, Bambang Britono, angkat bicara soal rencana pemerintah untuk melarang konsumsi minuman beralkohol dalam RUU Minuman Beralkohol. Menurutnya, hal tersebut bisa mengubah wajah Indonesia yang terkenal menyuguhkan destinasi pariwisata kelas dunia.

Menurutnya, pembahasan RUU ini sudah ramai diperbincangkan di media asing. Hal itu tentu akan berdampak kepada kedatangan wisatawan mancanegara yang rata-rata memiliki kebiasaan mengonsumsi alkohol.

Pihaknya berharap diskusi mengenai RUU ini tidak berkepanjangan. Sebab, Indonesia masih harus berjuang menarik wisatawan untuk bertandang dan berlibur di sini usai Corona.

Apalagi, pengadaan alkohol sendiri sebenarnya sudah diatur dengan ketat dari hulu ke hilir. Bahkan sudah ada regulasi jelas jika terjadi penyalahgunaan.

“Jadi kami dari PHRI menolak RUU tersebut karena menurut kami ini kontraproduktif dengan rencana industri pariwisata, yang sebelum Covid-19 digadang-gadang menjadi penyumbang (devisa) terbesar di Indonesia,” ujarnya.

Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, menegaskan rencana pembahasan RUU Larangan Minuman Beralhokol tak tepat di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Sebab, dunia usaha sangat memerlukan iklim usaha dan investasi yang kondusif termasuk dari sisi kebijakan.

Dia mengingatkan keterlibatan industri minol dalam perekonomian nasional sudah cukup lama, hampir mencapai satu abad. Selain itu, industri ini juga memiliki investor dunia.

Sarman mengungkapkan kontribusi industri minol juga nyata. Baik dari sisi pajak maupun cukai alkohol yang mencapai Rp 6 triliun setahun.

Tenaga kerja mencapai 5.000 orang ditambah industri penunjang seperti pertanian, logistik, industri kemasan, distribusi dan jasa perdagangan, jasa hiburan, rekreasi, pariwisata dan budaya.

“Kami sangat mendukung kalau minol ini diatur dan diawasi sehingga edukasi dan informasi kepada masyarakat selalu konsisten dilaksanakan akan bahaya penyalahgunaan minuman beralkohol,” tuturnya.

Selain itu, jika nantinya dalam RUU ini kesannya melarang maka dikawatirkan akan terjadi praktik masuknya minol selundupan yang tidak membayar pajak, maraknya minol palsu yang tidak sesuai standar pangan serta maraknya minol oplosan yang membahayakan konsumen.

Penolakan Pemda

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mendesak agar wacana soal akan ditetapkannya rancangan undang-undang larangan minuman beralkohol dikaji kembali oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya karena akan mematikan ekonomi perajin dan sosial budaya masyarakat di provinsi berbasis kepulauan itu.

Kepala Biro Humas Setda Provinsi Nusa Tenggara Timur, Marius A Jelamu mengatakan, minuman beralkohol tradisional di NTT seperti Sopi merupakan salah satu komoditas ekonomi, sosial dan budaya.

“Sehingga kalau dilarang otomatis hal ini akan mematikan ekonomi perajin dan mematahkan budaya masyarakat NTT yang selama ini secara turun temurun sering digunakan dalam adat istiadat,” katanya.

Tak hanya itu bagi masyarakat di wilayah Indonesia Timur khususnya di NTT selama ini menjadikan minuman alkohol tradisional sebagai pemasukan untuk peningkatan ekonomi. Dari hasil jual minuman keras itu, para orang tua atau perajin minuman keras membiayai sekolah hingga kuliah anak mereka sampai kemudian mendapatkan pekerjaan yang laik.

Menurut Felix selama ini minuman beralkohol sudah menjadi kearifan lokal tersendiri dan menjadi penyambut para tamu yang datang ke suatu daerah.

“Sudah pasti pemerintah NTT menolak hal ini. Oleh karena itu perlu dikaji kembali. Jangan menyamakan budaya di daerah pulau Jawa dengan daerah Timur Indonesia, karena sudah pasti banyak perbedaannya,” ujarnya.

Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo (Rudy) menilai, regulasi tersebut bisa berdampak pada sektor pariwisata di Kota Solo. Selama ini, lanjut dia, minuman beralkohol hanya disediakan di tempat-tempat tertentu, seperti hotel berbintang, kafe dan bar. Menurutnya, banyak wisatawan yang biasa mencari minuman beralkohol.

“Kalau jadi, dampaknya kepada yang mau ke hotel, wisatawan yang butuh minuman alkohol. Saya yakin akan berpengaruh ke kunjungan wisata,” ujar Rudy.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here