Thursday, 25 April 2024
HomeBeritaTingkat Konsumsi ASI rendah, Kasus Stunting di Kota Bogor Meningkat

Tingkat Konsumsi ASI rendah, Kasus Stunting di Kota Bogor Meningkat

Bogor Daily-Ketua Dewan Guru Besar (DGB) IPB University Prof Dr Evy Damayanthi menemukan rendahnya cakupan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan angka di Kota Bogor, Jawa Barat.

“Kami menemukan rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif dan tingginya angka anemia pada ibu hamil. Kedua hal ini bisa menjadi penyebab terjadinya pada anak. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya agar angka di Kota Bogor pada masa pandemi COVID-19 ini tidak terus naik, syukur-syukur dapat ditekan,” ujar Evy dalam keterangan resmi IPB University yang diterima di Jakarta, Selasa.

Menurutnya, jumlah di Kota Bogor berada dalam kisaran yang kecil, tapi menunjukkan tren kenaikan.

Pada 2019 terjadi penurunan angka di Bogor menjadi 4,52 persen dari 4,80 persen pada 2018. Namun, pada 2020 terjadi kenaikan menjadi 10,50 persen yang dihitung berdasarkan Bulan Pemantauan Balita Kota Bogor.

Temuan penyebab kenaikan itu dilakukan dalam program Guru Besar Mengabdi IPB University yang bertujuan turut mencegah naiknya angka di Kota Bogor. Pada November-Desember 2020, Prof Evy dan tim menemukan masalah gizi masyarakat yang utama berdasarkan data Dinas Kesehatan dan Puskesmas.

Setelah mengetahui akar permasalahannya, Program Guru Besar Mengabdi bekerja sama dengan mahasiswa IPB University dari Program Studi Dietisien dan tenaga gizi dari empat Puskesmas di kota itu melakukan edukasi gizi. Edukasi gizi dilakukan secara tatap muka di posyandu, Puskesmas atau kunjungan rumah.

Kegiatan pengabdian itu bertujuan meningkatkan pengetahuan dan motivasi ibu hamil untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan taat minum Tablet Tambah Darah (TTD) agar tidak mengalami anemia.

Menurut Evy, edukasi gizi berhasil meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang ASI eksklusif dan anemia rata-rata 20 persen.

Dia menegaskan kurangnya pengetahuan terkait gizi dapat mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga perlu diedukasi. Tidak hanya tentang , tapi juga ASI eksklusif, anemia dan pentingnya gizi saat kehamilan serta gizi seimbang.

Edukasi perlu dilakukan dalam frekuensi tertentu untuk mendapatkan perubahan perilaku ibu hamil.

Evy juga menyoroti bagaimana pandemi COVID-19 membatasi kegiatan penyuluhan tatap muka, tapi edukasi gizi dan kesehatan harus tetap dilakukan sehingga perlu dikembangkan berbagai inovasi kegiatan dengan mempertimbangkan protokol kesehatan.

Selain itu, perlu dipertimbangkan pemberian Sertifikasi ASI bagi ibu yang lulus dalam pemberian ASI Eksklusif sebagai bentuk penghargaan. Evy juga merekomendasikan agar tetap dilakukan Program Kader Pemantau ASI yang dilakukan setiap bulan untuk memantau bayi per wilayah agar tetap mendapatkan ASI eksklusif.

Pentingnya fokus masalah gizi itu juga ditegaskan oleh Prof Dr Hardinsyah, Guru Besar IPB University yang juga Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia dan Presiden of Federation of Asian Nutrition Societies (FANS).

Hardinsyah menyebutkan bahwa masih ditemukan kasus balita di bawah garis merah (gizi kurang) di Kota Bogor berpotensi menjadi kronik dan . Permasalahan gizi ini akan berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia, daya saing dan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara.

Dia mengatakan bahwa dapat berdampak pada tingkat kecerdasan serta kerentanan terhadap penyakit dan menurunkan produktivitas, yang memiliki dampak berkepanjangan di masa depan.

“Tapi saya optimistis Kota Bogor memiliki keunikan dan kemampuan untuk menjadi terdepan dan teladan dalam pencegahan anemia dan . Pendekatan keluarga, rukun tetangga (RT) dan Posyandu yang fokus pada ibu hamil dan ibu menyusui di masa pandemi akan memiliki daya ungkit potensial dalam membumikan upaya ini,” ujar Hardinsyah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here