Tuesday, 26 November 2024
HomeBeritaHappy Beragama, Gus Baha: Agama Harus Membawa Keceriaan Hati

Happy Beragama, Gus Baha: Agama Harus Membawa Keceriaan Hati

Bogordaily.net – Video pengajian Kyai Haji Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha amatlah viral di media sosial.

Boleh jadi ini karena guyonannya yang kental dan bermutu. Agak aneh memang, padahal tema pengajian yang harus ia sampaikan amatlah serius, yakni mengenai tafsir Al-Quran.

Gus Baha adalah seorang kyai muda yang sederhana. Ia terkenal alim dan fakih dalam berbagai bidang ilmu agama.

Dalam hal ilmu tafsir, ini wajar karena ia diajar langsung oleh ayahnya, KH Nursalim Al-Hafizh.

Sang ayah adalah seorang ulama ahli tafsir Al-Qur’an dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa.

KH Mustofa Bisri atau Gus Mus menyebutnya sebagai kyai desa yang menguasai kota.

“Video ceramahnya selalu viral,” ucap Gus Mus suatu ketika.

Laman Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) secara berkala menayangkan pengajian Rais Syuriah PB NU ini. Tema yang diangkat adalah “Happy Beragama”.

Gus Baha mengatakan agama harus dibawa secara menyenangkan agar agama membawa keceriaan hati. Keceriaan sosial.

“Nabi paling marah jika suatu kebaikan menjadi problem,” kata Kyai yang selalu berpenampilan khas, baju putih dan peci hitam yang dikenakan agak menyerong itu.

Menurut Gus Baha, ini juga menjadi pesan almarhum ayahnya.

“Saya masih ingat wasiat Bapak. ‘Ha, kalau kamu ngajar atau berdakwah, guyon saja. Sebab orang yang sedang ngaji itu sudah dibebani banyak hal; punya hutang, takut isteri dan lainnya. Jangan membuat mereka menangis kedua kalinya. Di rumah sudah punya masalah, ternyata di pengajian bertambah masalah baru, yaitu ditakut-takuti siksa neraka oleh ustadznya. Ini namanya membuat kesedihan dan tangis kedua kali,” jelasnya.

Ada empat hal, kata Gus Baha, dasar tentang epistemologi nalar Islam ceria itu.

Pertama , berdasar QS al-Najm: 83. Potongan ayat adlhaka (tawa) wa abka (tangis) adalah ajaran normatif agar kita memilih berdakwah dengan penuh keceriaan, sebab semua sifat-sifat Allah itu pasti aktif, efektif dan efesien. Nafidzah wa mu’atstsirah .

Menurut Gus Baha, mayoritas ulama dahulu menghindari perilaku formal, serius dan detail.

Sebaliknya, mereka justru tampil di publik dengan cara guyon, bercanda dan ngelucu.

Potongan ayat adhaka wa abka (tertawa dan menangis), diinterpretasikan Gus Baha sebagai justifikasi kaifiyah mu’amalah dengan Allah yang adlhak (guyon).

Artinya, ayat ini tuntunan pada kita agar berinteraksi secara vertikal dengan cara yang elegan yaitu ceria dan tertawa.

Hanya saja, Gus Baha mengingatkan, guyon dalam konteks ini harus berorientasi pada min sa’ati rahmatihi karena itu, dinamika hidup yang direspon dengan hati yang gundah-gulana, berarti melawan pemberian Allah berupa sikap adlhak .

“Sebab itu, seseorang ruwetnya kaya apa, punya hutang misalnya, ya waktunya ketawa, harus ketawa. Demikian pula ketika menceritakan tragedi pertengkaran dengan isterinya. Waktunya bertemu teman, ya ketawa saja, ‘wah isteriku hebat, jioss …piring dibanting, kaca dipecah’, sekalipun ketika di rumah takut beneran. Sebab, adlhaka (ketawa) merupakan pemberian Allah yang nafizah–muatsitirah “.

Kedua, berdasarkan hadist. Gus Baha mengutip hadis yang termaktub dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Rasulullah bersabda,

“Sungguh, termasuk umat terbaikku adalah kaum yang tertawa keras (yadlhakuna jahran), karena percaya terhadap luasnya rahmat Allah (min sa’ati rahmatihi).

Berdasarkan hadis tersebut, lanjut Gus Baha, mayoritas ulama-ulama dahulu selalu bercanda, kelakar, santai, rileks, guyon dan tertawa.

“Ini semua mereka lakukan sebagai ekspresi atas kebahagiaan dan ridla terhadap pemberian Allah,” tuturnya.

Namun demikian, Gus Baha tidak menafikkan adanya potongan hadist selanjutnya. Kalimat wa yabkuna sirran (menangis secara sembunyi).

Diinterpretasikan Gus Baha agar kita menangis pada malam hari ketika kita sedang ber-munajat pada Allah.

Derai dan linang air mata di kesunyian malam tersebut sebagai bentuk ekspresi rasa takut pada siksa Allah (khaufan min azabihi).

Namun anehnya, perilaku orang-orang sekarang justru mempertontonkan sebaliknya.

“Jangan seperti perilaku orang-orang sekarang yang tampil sebaliknya. Mereka menangis di hadapan publik, namun ketika diberi uang, ia akan tertawa di kamar sendirian. Wahh…kalau begitu, orang ini bermasalah secara sanad. Ini tidak menyindir siapa-siapa ya… biasa saja,” sindir Gus Baha.

Ketiga, berdasar tradisi sahabat. Menurut Gus Baha, sekalipun pernah terjadi konflik di era Sahabat Ali dengan Mu’awiyah.

Namun hebatnya tidak membuat para sahabat larut dalam kesedihan yang begitu mendalam. Mereka tetap bercanda ria, tertawa dan goyun.

Realitas ini berdasarkan pernyataan sahabat, “Yang paling aku sukai dari orang alim itu adalah ceria (thaliqin) dan banyak guyon (midlhakin)”.

Berdasar tradisi tersebut, maka tugas kiai atau dai, harus tampil ceria dan tidak menakut-nakuti.

Keempat, berdasar tradisi tabi’in. Gus Baha mengutip pendapat Ibnu Hajar al-‘Asqalani, bahwa,

“senang itu adalah ibadah dan puncak keimanan adalah mansinya iman (halawatal iman )”.

Syarat menemukan halawatal iman, harus merasa nyaman yang diekspresikan dengan nuansa guyon dan tertawa.

Akan tetapi, seringkali, dalam konteks kehidupan nyata, normativitas Islam sebagai agama yang membawa kebahagiaan, direduksi oleh casing religiusitas kita yang tampil dengan kesedihan dan kegundahan.

“Kita seringkali mengeluarkan statemen bahwa Islam itu agama yang top dan hebat. Agama yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun statemen tersebut selalu diucapkan dengan nada sedih, gundah, kalut dan kusut. Yaa…akhirnya Malaikat bingung dan tidak berani menghadapi orang yang seperti itu,” pungkas Gus Baha.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here