Bogordaily.net – Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan Komnas HAM menggelar acara Festival Hak Asasi Manusia di Kota Semarang pada 16-19 November 2021. Dalam acara ini, sejumlah kepala daerah membagikan cerita tentang kebersamaan dan keberagaman di wilayahnya, tak terkecuali Wali Kota Bogor Bima Arya.
Dalam kesempatan itu, Bima membagikan cerita kebersamaan warga etnis Tionghoa dan warga Sunda di Kota Hujan melalui kisah dua pedagang makanan di Jalan Suryakencana, Bogor Tengah yakni Guan Tjo dan Pak Oo.
“Guan Tjo berjualan nasi goreng pete dan Pak Oo jualan sate sapi. Mereka ada dari tahun 60-an sampai sekarang terus berdampingan, tidak terpisah dari generasi ke generasi, sampai anak cucunya,” ujar Bima Arya.
Guan Tjo adalah warga etnis Tionghoa pedagang nasi goreng petai di Jalan Suryakencana, sebuah distrik kuliner di Bogor, tepatnya di sebelah Hotel 101 Bogor. Rasa nasi goreng racikannya telah melegenda sehingga bisa bertahan sejak pertama kali berjualan tahun 1960-an.
Sementara Pak Oo adalah warga Sunda penjual sate sumsum. Sama seperti Guan Tjo, ia pun telah berjualan sejak tahun 1960-an dan rasa sate sumsumnya telah melegenda sehingga kerap jadi rekomendasi bagi pelancong di Bogor.
“Mereka tidak pernah mau dipisahkan walaupun dikasih ruko yang mewah, yang satu di tempat yang lain. Terdengar sederhana tapi inilah tradisi luar biasa, investasi sosial dari para leluhur kita di masa lalu. Kita punya modal itu,” tambahnya
Menurut Bima, toleransi bukan hanya tercermin dari rumah ibadah yang berdampingan atau kerukunan antar pemuka agama. Tapi juga bisa tergambar melalui kuliner.
Ia pun menyinggung cerita Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi yang menampilkan foto Soto Semarang sebagai contoh keberagaman di wilayahnya.
“Mas Hendi (sapaan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi) kemarin menampilkan foto Soto Semarang yang merupakan contoh yang paling sederhana dari keberagaman. Kuah sotonya dari India, so’un dari Tiongkok, perkedelnya dari Eropa dan Tempe dari Jawa,” ungkap Bima Arya.
Sebelumnya, dalam momen yang sama Bima Arya yang juga Ketua Asosiasi Wali Kota se-Indonesia (APEKSI) Bima Arya mengatakan tampak ada penguatan konflik sosial, agama dan politik di sejumlah negara di dunia, dan itu membuat mereka terpecah belah. Tak sedikit pula peradaban kota maju di yang dibangun dengan teknologi canggih hancur dalam waktu yang tidak terlalu lama.
“Sejarah dunia memberikan kita banyak sekali pelajaran. Banyak peradaban kota yang maju, yang hebat, yang dibangun cukup lama dengan teknologi yang canggih dengan keterampilan yang jauh melebihi rata-rata, tetapi kemudian hancur dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena konflik sosial, konflik agama, konflik politik,” ungkap Bima Arya.
Bima Arya mencontohkan konflik di Aleppo, Suriah dan konflik akibat hak individu yang hilang di Ukraina, Eropa Timur.
Ia melanjutkan, teknologi yang canggih, infrastruktur yang dahsyat bisa hancur sekejap karena konflik. Jadi, menurut Bima, membangun kota bukan hanya membangun lembaganya, bukan hanya perangkat politiknya, bukan hanya infrastrukturnya. Tetapi membangun kota adalah membangun manusianya yang menghormati sesama manusia.