Bogordaily.net – Jaksa Agung S.T Burhanuddin mewacanakan untuk menerapkan hukuman mati bagi terpidana korupsi. Namun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)Kurnia Ramadhana menilai rencana itu tidak akan menimbulkan efek jera, bahkan wacana itu disebut hanya jargon politik untuk mempertahankan posisinya.
“Pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik,” ujar Kurnia di Jakarta lewat keterangan tertulis pada Kamis, 4 November 2021.
Menurutnya, wacana hukuman mati yang biasa disuarakan Presiden, Jaksa Agung, atau penegak hukum dan pejabat lainnya hanyalah upaya politik agar terlihat serius menangani korupsi padahal kenyataannya nol besar.
Dalam beberapa kasus, kejaksaan agung justru seolah menunjukkan keberpihakannya kepada koruptor, contoh nyatanya dalam kasus suap yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pinangki didakwa melakukan tiga kejahatan sekaligus, antara lain menerima suap dari pengusaha Djoko Tjandra sebesar 500 ribu dollar AS, permufakatan jahat untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung terkait Djoko Tjandra, dan pencucian uang.
Dari seluruh kejahatan itu, jaksa hanya memberikan tuntutan 4 tahun penjara terhadap Pinangki. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  menilai tuntutan itu terlalu ringan hingga menjatuhkan vonis 10 tahun kepada Pinangki. Namun, hukuman itu didiskon lagi menjadi 4 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan jaksa tidak mengajukan kasasi.
“Kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi,” lanjutnya.
Nyatanya, pemenjaraan terhadap terpidana korupsi pun tidak pernah serius sehingga wajar jika wacana hukuman mati hanya dianggap bualan. Mengacu pada data ICW, rata-rata hukuman untuk terpidana korupsi hanya 3 tahun 1 bulan. Sementara pemulihan kerugian keuangan negara pun masih jauh panggang daripada api.
“Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun,” lanjut Kurnia.