Bogordaily.net– Tokoh nasional yang juga ekonom senior Rizal Ramli menilai mantan Presiden bisa melakukan dukungan atau endorsement. Namun akan sangat efektif jika sosok tersebut itu memiliki reputasi dan track record luar biasa.
Rizal Ramli mencontohkan dukungan Presiden Amerika Franklin Roosevelt Truman, atau Presiden populer Reagan mendukung capres George Bush Sr.
“Dukungan ‘tidak langsung dan anumerta' Pendiri Republik Presiden Soekarno sangat membantu terpilihnya Megawati. Tetapi dukungan Presiden Soeharto pada tahun 1998 kepada Habibie hanya membuat Habibie bertahan 1 tahun sehingga harus mengadakan Pemilu tahun 1999,” ujar Rizal Ramli di Jakarta, Kamis, 4 Agustus 2022 dilansir Kedaipena.com.
Sementara itu, kata Rizal Ramli terkait dukungan Jokowi kepada capres berikutnya nyaris tidak akan berarti banyak, bahkan bisa-bisa merugikan (backfired) karena kondisi rakyat sedang susah baik karena kesulitan ekonomi maupun pola tindak yang semakin otoriter.
Rakyat, menurut Rizal Ramli, sudah keburu sebal karena perilaku dinastik Jokowi dan semakin meluasnya perilaku KKN.
“Jokowi tidak akan meninggalkan legacy yang berarti. Boleh dikata, legacy-nya dubious: Ekonomi rakyat susah, infrastruktur-beban-utang, raja utang dan janji-janji soal Trisakti, Nawacita dan lainnya. Kebijakan-kebijakan anti-demokrasi, kontradiksi antara ucapan dan tindakan,” paparnya.
Lebih lanjut Rizal Ramli menilai Jokowi tidak pernah berjuang untuk menegakkan demokrasi di Indonesia tetapi diuntungkan dan menikmati manfaat dengan adanya demokrasi, sehingga bisa menjadi Presiden.
“Tetapi sejak berkuasa, Jokowi secara bertahap melakukan amputasi terhadap demokrasi dengan berbagai kebijakan dan pola tindak yang semakin otoriter,” lanjut eks penasehat ekonomi PBB ini.
Jokowi kata Rizal Ramli, harusnya sadar diri bahwa dukungannya atau endorsement kepada capres tidak akan efektif dan bahkan bisa berdampak negatif karena dia tidak punya kekuasan terhadap partai, apalagi sampai 20 persen threshold.
Apalagi, menurut Rizal Ramli capres pasca-Jokowi harus melanjutkan programnya dan itu termasuk kriteria ngawur seperti meneruskan proyek-proyek infrastruktur dengan beban utang
“Tidak urgent seperti IKN, kebijakan yang merugikan sepertu Omnibus Law, amputasi KPK dan rencana KUHP otoriter,” katanya lagi.***
(Gibran)